Friday, 8 June 2018

Kritik Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar


ADA tahi lalat di dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil membuat kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.
“Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.
“Di sebelah mana?” aku mengorek.
“Di sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul.
“Besar?”
“Katanya sebesar biji randu.”
Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.
Karena tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol. Teriakan itu memicu yang lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan tempat aku lewat. Sebenarnya aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap lurahku, meski waktu pemilihan aku tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka berteriak, aku mengacungkan jempol terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin mengejek, teriakan mereka pun bertambah santer.
Suara truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan menderu-deru di jalan depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering dikeluhkan oleh anakku, Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah dan perangkatnya tak peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab dan sering keluar bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.
“Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan,” aku membuka pembicaraan dengan istri.
“Kedekatan yang gimana lagi?” istriku mendongak.
“Bos proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya juga pernah keluar bareng.”
Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.
“Ada unsur politik juga kayaknya,” kataku pada istri.
“Mengapa istri diikut-ikutkan?” dia mendongak.
“Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan.”
“Pak Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri kedua. Andai tetap dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak begini.”
“Bisa jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu.”
“Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh tahun,” istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang sekolah.
Pak Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang menyangkut istrinya. Kami memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika yang lewat istrinya. Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak Lurah, tersenyum dan menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka membuat isyarat gerakan gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk ke dada sebelah kiri.
Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
“Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan,” begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
“Lama-lama desa ini habis terjual,” kataku pada Pak Bayan.
“Habis gimana?” jawab Pak Bayan enteng.
“Bilang sama Pak Lurah,” aku melanjutkan, “mestinya kehidupan kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni.”
“Kalau ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja.”
“Jadi kuli dan babu!” aku menyergah.
Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, “Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas sekali….”
Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.
Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata ‘diam pertanda setuju’ hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serba salah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.
“Apa tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati Bu Lurah?” kataku pada istri.
“Untuk apa?”
“Menanyakan kepastian ada tidaknya tahi lalat itu.”
“Terus kalau tidak ada mau apa?”
“Ya biar jelas dong,” jawabku pura-pura lega.
“Terus kalau benar-benar ada?” istriku mengejar lagi.
“Orang-orang akan puas,” aku bergaya manggut-manggut. “Akhirnya mereka kan berhenti ngrasani.”
“Ehmm, untuk apa!” istriku melengos.
Dari awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya maksud lebih besar. Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi lalatnya atau tidak. Di sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji randu atau sebesar kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila benar-benar ada, kok sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat di tempat rahasia itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan istri Pak Lurah. Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak Lurah saat menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.
Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.
Jeep yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.
“Gambarku bagus, ya?” Laela menyodorkan buku gambarnya yang terbuka.
“Gambar apa ini?” aku bertanya sambil menerimanya.
“Orang.”
Anak perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang dengan rambut sepundak. Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan. Bibirnya dibuat merah menyala.
“Ini orang laki apa perempuan?”
“Perempuan,” ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.
“Terus titik besar berwarna hitam ini apa?”
“Itu tahi lalat,” jawab anakku enteng.
“Tahi lalat apa?”
“Tahi lalat di dada istri Pak Lurah.”
“Haaa…??!!!” aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan yang hari-hari ini kami dengar.
“Ini tahi lalat di dada istri Pak Lurah…” kembali anakku menuding gambar yang telah dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.
Pengarang dalam membuat karya pastilah mempunyai makna yang ingin disampaikan kepada pembaca, tidak terkecuali cerpen Tahi Lalat karya M. Shoim Anwar tersebut. Dari segi cerita, cerpen ini sangat menarik untuk dibaca. Bercerita tentang kehidupan di desa, cerpen ini begitu hidup dalam pembuatannya, semua ide yang pengarang tuangkan dalam cerpen ini seolah-olah adalah kisah nyata dan pembaca ikut melihat secara langsung dalam persoalan tersebut.
Secara implisit, cerpen ini mempunyai amanat bahwa apapun permasalahan yang disembunyikan pasti tercium juga. Seperti pepatah mengatakan “sepandai orang menyembunyikan bangkai, akan tercium juga”. Selain itu, pengarang juga menggambarkan secara gamblang bagaimana kehidupan di desa. Satu permasalahan yang dibuat oleh pihak tertentu, maka akan dengan cepat tersebar, tidak hanya pihak orang tua atau orang dewasa saja permasalahan tersebut menarik dibicarakan, anak-anak yang notabenenya dicap belum tahu apa-apa, juga akan menikmati gosip yang  telah disebarluaskan oleh pihak tertentu. Namun, itulah keunikan tersendiri kehidupan di desa. Gosip yang mudah tersebar mengajarkan kita untuk selalu bertingkah laku yang baik.

Cerpen Burung Dashi Karya Nur Himami



            Pagi sangat cerah. Burung bernyanyi seakan-akan menyambut datangnya pagi hari itu. Begitu juga para petani menyambut pagi hari dengan beraktifitas seperti biasanya. Dengan kaki telanjang, mereka menyusuri jalan setapak yang tandus. Hanya seorang janda tidak melakukan aktifitas seperti penduduk lainnya, Ratih namanya. Ia sedang menguji kedua anaknya yaitu Dashi dan Shinta, janda setengah baya itu ingin tahu siapa yang paling pandai memasak. Apakah anak kandungnya atau anak tirinya.
            Bau sedap sudah tercium dari dapur, Ratih pun tak sabar untuk segera mencicipinya. Tak lama kemudian dua gadis anggun muncul dari dapur, mereka masing-masing membawa piring yang di atasnya ada masakan lezat dan sedap. Shinta (anak tiri Ratih) meletakkan hidangan itu di depan Ratih.
            “Mak, ini masakan buatan saya sendiri yang dulu sering diminta bapak untuk makan sehari-hari. Semoga emak masih menyukainya”
Ratih diam, sekedar melihat masakan yang diberikan anak tirinya saja tidak.
            “Oh ya mak, Dashi masak makanan kesukaan emak loh” sahut Dashi
            “Terima kasih Dashi, kamu memang anak emak yang paling pandai” kata Ratih memuji
Ia mulai mencicipi masakan Dashi, sampai di lidah, keningnya berkerut.
            ‘Asin sekali masakan Dashi’ kata Ratih dalam hati
Setelah itu ia segera mencicipi masakan buatan Shinta, masakan itu masih panas sehingga asapnya masih mengepul. Dari aromanya sudah terasa kalau masakan Shinta sangat lezat. Sesudah mencicipi, ia berfikir bagaimana cara mengatakan kepada kedua anaknya, apakah ia harus jujur bahwa makanan Shinta lah yang sangat lezat dan sedap. Tapi kalau jujur, ia tidak akan bisa menyingkirkan Shinta dari rumahnya.
            “Dashi masakan kamu enak sekali” puji Ratih sambil tersenyum “Dan kamu Shinta, kamu harus lebih berlatih lagi, agar kamu pandai memasak seperti Dashi. Kamu ini perawan, kalau kamu tidak bisa memasak, apa kata tetangga? Jika kamu masih tidak bisa memasak, emak akan usir kamu” ancam Ratih sungguh-sungguh. Lalu ia keluar dari rumah.
            “Shin sabar ya? Aku yakin masakanmu juga enak seperti masakanku, tapi emak saja yang tidak bisa merasakannya” hibur Dashi kepada saudara tirinya itu
            “Makasih ya Dash” Shinta memeluk Dashi
            Sementara Ratih, ia berlari ke hutan. Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan, Shinta memang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan Dashi. Keinginannya untuk membunuh Shinta muncul kembali, sudah lama ia ingin melakukannya, tapi niat itu selalu urung karena kelakuan Dashi. Ratih mulai berjalan lagi, ia harus mencari tumbuhan kayu untuk membuat gelang. Setelah lama mencari, akhirnya ketemu juga. Tangannya yang terampil memulai untuk membuat gelang. Ratih hanya membuat satu, hanya untuk Dashi. Dengan adanya gelang itu, ia bisa tahu mana Dashi dan mana Shinta, karena mereka berdua seperti anak kembar, meskipun Shinta bukan anak kandungnya.
            Menjelang sore, ia segera pulang ke rumah dengan menggenggam gelang di tangan kanannya. Shinta mendekatinya di beranda.
            “Apa itu mak?” tanya Shinta sambil menunjuk ke tangan Ratih
            “Kamu tidak perlu tahu Shinta” jawab Ratih ketus
Malam tiba. Ratih memanggil anak kandungnya.
            “Ada apa mak?” tanya Dashi
            “Emak ada sesuatu buat kamu, emak sendiri yang bikin, emak pakaikan ya?”
            “Gelang? Wah cantik sekali”
Tiba-tiba Shinta muncul dari dalam kamarnya, ia mendekati mereka berdua.
            “Emak juga membuatkan untuk Shinta kan?” tanya Dashi pada emaknya
Shinta tersenyum, dalam hatinya ia berfikir juga dibuatkan gelang seperti Dashi.
            “Ini hadiah untuk Dashi yang berhasil memasak dengan sangat enak”
            “Emak kok gitu? Harusnya emak tetap bikin dua agar Shinta semangat belajar memasak” protes Dashi
            “Aku nggak apa-apa kok, kalau begini aku jadi ingin terus belajar memasak, biar emak nanti bikinin aku gelang seperti kamu Dashi” Shinta mengembangkan senyumnya
            “Tuh Shinta aja nggak apa-apa, kenapa kamu mesti protes. Ya sudah emak capek, emak tidur dulu”
Di dalam kamar, Ratih tidak tidur, ia menunggu fajar tiba.
            ‘Akhirnya aku bisa memberikan gelang itu kepada Dashi, dengan begitu aku bisa menyingkirkan Shinta. Hanya menunggu fajar, maka impianku akan kenyataan’ batin Ratih penuh harapan
            Shinta merebahkan tubuhnya di ranjang samping Dashi, mereka berdua satu ranjang. Shinta melihat wajah Dashi yang sudah memejamkan mata, dari raut wajah Dashi, kelihatan ia sangat bahagia, mungkin karena hari ini adalah hari keberuntungan Dashi. Pandangan Shinta tak bisa lepas dari wajah Dashi, ia membatin.
            ‘Aku dan Dashi adalah saudara tiri, beda bapak dan beda emak. Tapi kenapa aku dan dia begitu mirip? Postur tubuh, warna kulit, dan rambut juga sama. Apa ini sebuah keajaiban?’ Shinta menghembuskan nafas dalam-dalam, ia memalingkan wajahnnya dari wajah Dashi.
            “Shinta?”
            “Dashi? Aku ganggu tidur kamu ya? Maaf...”
            “Enggak kok Shin. Kamu kenapa? Dari tadi kok nggak tidur?”
            “Aku nggak bisa tidur Dash, hatiku gelisah, entah kenapa”
            “Jangan difikirkan Shin” ujar Dashi sambil memegang lengan Shinta “Eh Shin, aku mau kamu pakai gelang ini” lanjutnya seraya melepas gelang pemberian Ratih
            “Jangan, jangan Dash. Aku takut nanti kalau ketahuan emak, emak pasti marah” tolak Shinta
            “Emak tidak akan tahu Shin, sekarang kamu pakai dan besok sebelum keluar kamar, kamu kembalikan ke aku”
Gelang pemberian Ratih itu segera dipakaikan ke tangan Shinta.
            “Makasih ya Dash, kamu mau meminjami gelang ini”
            “Sebagai saudara, kita harus bahagia bersama”
Mereka berdua tertawa
            Fajar mulai terbit. Ratih segera mengambil pisau dan masuk ke dalam kamar Dashi dan Shinta. Terlebih dahulu ia melihat gelang yang diberikan tadi sore. Dengan cepat pisau itu menancap ke perut anaknya yang tidak memakai gelang pemberiannya. Dashi bangun merasakan sakit yang luar biasa dan terkejut mendapati Ratih masih memegang pisau yang menancap perutnya.
            “Emak...”
Shinta ikut bangun, dia melihat darah berceceran dari perut Dashi.
            “Dashi... kamu kenapa?” tanya Shinta histeris
Mendengar Shinta memanggil nama Dashi, pisau yang dibawa Ratih jatuh ke tanah. Dia salah membunuh, yang ia bunuh bukan anak tirinya, melainkan anak kandungnya sendiri.
            “Dashi? Jadi kamu Dashi? Maafkan emak, emak tidak bermaksud membunuh kamu. Tapi... kenapa kamu memberikan gelang itu pada Shinta?”
            “Jadi emak mau bunuh Shinta? Dengan cara membuat gelang untuk aku pakai? Agar emak mudah untuk membunuh Shinta? Emak tega, emak tega dengan kedua anak emak sendiri” ujar Dashi menangis, ia berlari keluar dengan sekuat tenaga
            “Jadi emak yang bunuh Dashi?” tanya Shinta tidak percaya
Ratih mengabaikan pertanyaan Shinta dan berlari mengejar Dashi.
            “Dashi kamu mau kemana? Emak menyesal. Bukan maksud emak untuk membunuh kamu, kembalilah Dashi” teriak Ratih
Dashi tidak memperdulikan perkataan Ratih, ia terus berlari. Sampai akhirnya Dashi terpeleset jatuh ke sungai dan terseret arus.
            “Dashi....” teriak Ratih histeris
Ratih mengikuti arus itu, tapi Dashi tidak ditemukan, ia yakin Dashi masih hidup dan ia berniat untuk mencari Dashi sampai ketemu. Sampai akhirnya ia menjelma menjadi seekor burung, lalu ia terbang dengan berkicau memanggil nama Dashi.
            Dashi, Dashi, Sintiriri....
            Dashi, Dashi, Sintiriri....
            Di sebuah desa ada seorang laki-laki yang sudah tua, sudah beberapa minggu ia sakit, keluarganya mencemaskannya, ia berada di rumah bersama anaknya. Di atas genting rumahnya terdengar burung yang sedang berkicau.
            Dashi, Dashi, Sintiriri...
Anaknya tidak mengerti kenapa burung itu tidak pergi dari sana, padahal sudah lima hari ia di atas genting rumahnya. Tiga hari berlalu, akhirnya kakek itu meninggal dunia. Anaknya tidak kuasa, ia memilih berdiam diri di beranda, melihat seekor burung bertengger di pohon dekat rumahnya, masih dengan kicauan yang sama.
            “Ada apa? Kamu kok bengong?” tanya tetangga menghampirinya
            “Kamu lihat burung di pohon itu?”
            “Iya, memangnya kenapa?”
            “Tiga hari lalu, burung itu terus-menerus berkicau di atas genting rumah saya”
            “Iya, waktu pamanku dan suami adikku meninggal dunia, burung itu juga berkicau”
            “Ya, aku heran, kenapa saat ada orang mau meninggal, pasti burung itu berkicau di dekat rumah keluarganya”
            “Apa mungkin burung itu pembawa berita kematian?”
            “Iya bisa jadi. Apa ya nama burung itu? Baru kali ini aku  melihatnya”
            “Mungkin burung Dashi, sesuai dengan kicauannya”
            Setelah bertengger di pohon, burung itu mulai terbang, sambil berkicau burung itu terbang semakin tinggi.
Dashi, Dashi, Sintiriri....
Dashi, Dashi, Sintiriri....
Dashi, Dashi, Sintiriri....

Gresik, 2010

Kamu Seorang Introvert Atau Ekstrovert?

Via: Google
Guys, kamu pernah nggak ngalamin saat kamu diajak teman atau keluarga party, kamu udah ngerasa loyo duluan?
Bisa jadi itu tanda-tanda kamu seorang introvert guys. Tapi, kalo kamu malah enjoy dan nggak sabar nunggu party itu tiba, berarti kamu tipe ekstrovert. Atau kamu punya teman yang suka menyendiri? Wah, jangan langsung dicap aneh, sombong, atau bahkan sok cool, guys, orang kepribadian introvert memang begitu, tapi bukan berarti mereka nggak butuh teman kok, karena pada dasarnya manusia itu diciptakan saling membutuhkan satu sama lain, intinya manusia nggak bisa hidup sendiri guys.
Widiiiiihh, apalagi ya fakta-fakta tipe introvert sama ekstrovert itu? Udah penasaran kan pastinya? Langsung aja yuk, check it out.
Istilah introvert sama ekstrovert pertama kali diperkenalkan oleh Carl Gustav Jung (C.G Jung) yaitu seorang psikolog terkenal dari Swiss. Menurut C.G Jung, introvert yaitu sikap atau karakter seseorang yang memiliki orientasi subyektif secara mental dalam menjalani kehidupannya. Jadi, seseorang yang berkepribadian introvert cenderung menyukai kondisi yang tenang, mereka suka menyendiri, dan cenderung menjauhi interaksi dengan hal-hal baru. Introvert ini juga lebih suka mengerjakan segala sesuatu secara soliter (dikerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain).
Wah, seorang introvert berarti orangnya pemalu dong? Salah guys, salah besar. Introvert bukan berarti pemalu ya. Mereka bisa berinteraksi dengan orang lain, tapi ya gitu lebih suka menyendiri dan pendiam guys. Biar kamu bisa ngenalin seseorang yang berkepribadian introvert, kita cari tahu yuk ciri-ciri introvert itu apa aja.
1.  Selalu Menikmati Waktu Sendiri
Bagi orang introvert, menyendiri adalah hal terbahagianya. Di saat orang lain senang bertemu dengan teman-temannya, introvert lebih senang berada di rumah, melakukan aktivitas yang paling disukai yaitu mendengarkan musik, menonton film, atau membaca. Tidak perlu repot-repot ngajak orang lain buat nongkrong biar bisa bahagia ya guys? Hehehe.
2.  Lebih Nyaman Menuangkan Pikiran Ke Dalam Tulisan
Orang Introvert memang suka merenung, oleh karena itu mereka cenderung berkomunikasi ke dalam tulisan daripada disuruh berkomunikasi secara langsung, apalagi sama orang banyak. Duh, bisa aneh ntar situasinya hehehe. Kelebihan inilah yang memberikan peluang introvert menjadi penulis handal, contohnya J.K Rowling penulis novel Harry Potter yang berkepribadian introvert.
3.  Tidak Suka Keramaian dan Suka Bepergian dengan Segelintir orang
Orang introvert sangat payah jika berada di situasi yang ramai. Mereka selalu ingin cepat pulang biar bisa ngisi energi yang telah habis dikuras. Bukan berarti mereka nggak mau bergaul, mereka hanya bisa nongkrong dengan segelintir orang yang benar-benar mereka percayai dan mereka kasihi. Hal ini dikarenakan suasananya jadi lebih tenang dan dekat, sehingga mereka merasa nyaman berhubungan dengan orang lain. Jadi, maklumi ya kalau temenmu yang introvert agak susah diajak nongkrong bareng orang banyak.
4.  Sangat Jeli Mengamati Keadaan Sekitar
Tipe ini sangat memperhatikan lingkungannya dan mengingat setiap detilnya. Mereka nggak akan mengungkapkannya kalau emang dirasa nggak perlu. Untuk itulah mereka dianggap tipe orang yang perhatian.
5.  Tidak Menyukai Obrolan Ringan
Orang introvert ini tipe pemikir, jadi wajar kalau mereka tidak bisa menimpali pembicaraan yang ringan. Mereka lebih suka membicarakan hal-hal yang berbobot seperti tujuan hidup.
6.  Hati Introvert Hanya Untuk Orang-Orang Tertentu Saja
Kalau kamu nggak dekat dengan orang introvert, jangan kira mereka bakal leluasa mencurahkan isi hatinya sama kamu guys. Orang introvert hanya mau curhat dengan orang yang mereka percaya aja.
7.  Sangat Pendiam Pada Orang Asing
Kalau kamu baru berkenalan dengan tipe orang introvert, kamu akan menilai kalau mereka benar-benar pendiam. Tapi, jangan kaget kalau udah sangat akrab, mereka bakal sangat cerewet tidak seperti dugaanmu sebelumnya. Jika orang introvert udah cerewet, berarti kamu bukan orang asing baginya, tapi orang yang bisa membuatnya nyaman.
8.  Atraktif Saat Online, Canggung Saat Offline
Jangan pernah menilai kepribadian seseorang lewat dunia maya guys, orang introvert tidak akan terdeteksi jika mereka di dunia maya.
9.  Mempunyai Sedikit Teman
Bagi mereka, lebih baik mempunyai teman yang sedikit tetapi bisa dipercaya, dibandingkan dengan banyak teman tapi tidak punya tujuan dan arah yang jelas. Nah, yang punya teman introvert pasti senang, karena mereka tipe teman yang setia, apalagi kalau mereka anggap kamu adalah orang yang nyaman untuknya, mereka akan berteman sepenuh hati.
10.      Memaafkan Tetapi Tidak Mudah Melupakan
Kamu pernah bikin masalah nggak sama temen kamu yang introvert? Kalau iya, kamu bakal diingat terus guys sama tipe ini, bukannya mereka tidak mau memaafkan, tapi mereka emang nggak bisa melupakan orang-orang yang telah menyakitinya.
Oke, setelah membahas mengenai orang yang berkepribadian introvert, sekarang kita lanjut yuk ke esktrovert. Kebalikan dari introvert nih guys, pengertian ekstrovert yaitu orang yang suka dengan kehidupan yang interaktif. Mereka lebih suka suasana baru dan senang bergaul, menyendiri dianggap hal yang paling membosankan guys. Untuk ciri-cirinya, cek berikut ini ya guys.
1.  Spontan Dalam Bertindak atau Berbicara
Ekstrovert bukan tipe pemikir seperti introvert guys, mereka kalau ingin menyampaikan sesuatu langsung spontan atau bisa dibilang bicaranya ceplas-ceplos. Hmm, kamu punya temen seperti ini nggak? Atau jangan-jangan kamu yang biasa bicaranya ceplas-ceplos hehe.
2.  Mudah Bergaul
Tipe ini kalau berteman tidak pilih-pilih guys. Mereka bisa berteman dengan siapapun dan mereka juga bisa terbuka guys dengan teman lama atau teman yang baru dikenalnya.
3.  Pandai Mencairkan Suasana
Nah, mereka ini tipe yang ceria. Mereka nggak suka suasana yang sepi sunyi, jadi kalau berteman sama tipe ekstrovert, suasananya sangat ramai guys. Yaiyalah, mereka kan paling bisa bikin orang lain tertawa hehehe.
4.  Tidak Suka Menyendiri
Ekstrovert sangat benci jika sudah sendirian, mereka menganggap hal itu sangat membosankan. Untuk itu, mereka lebih senang berinteraksi dengan orang lain. Beda jauh ya guys sama tipe introvert?
5.  Suka bekerja Kelompok Dibanding Bekerja Sendiri
Kalau kamu pernah liat orang yang pekerjaannya amburadul saat mereka bekeja sendirian, bisa jadi orang itu berkepribadian ekstrovert guys, karena mereka emang nggak bisa sendiri sih. Mereka lebih mampu jika bekerja secara team.
6.  Selalu Semangat dan Antusias
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ekstrovert merupakan kepribadian yang ceria, mereka selalu semangat guys, apalagi dengan hal-hal yang baru.
7.  Saat Sedang Stres, Ektroverts butuh orang lain
Sudah bukan rahasia ya guys kalau tipe ini tidak bisa sendiri? Apalagi jika mereka sedang dirundung masalah, makanya mereka akan mencari teman untuk diajak bicara guys.
8.  Suka SMS atau Telepon
Karena takut sendiri, ekstrovert akan mengirim pesan atau menelpon temannya yang tidak bisa mereka temui. Hmm, selalu nempel kayak permen karet ya guys kalau begini? Hehehe.
9.  Selalu Tampil Percaya Diri
Bagi ekstrovert, percaya diri harus ada di dalam diri mereka. Sebisa mungkin mereka tampil beda dan energik saat melakukan sesuatu atau tampil di depan publik.
10.      Senang Menjadi Pembicara daripada Pendengar
Ekstrovert emang pandai dalam berkomunikasi secara verbal guys, jadi maklum ya mereka terkesan banyak omong. Sifatnya inilah yang sangat mudah ditebak kalau mereka lagi sedih hehehe.
Nah, itulah sedikit ulasan mengenai kepribadian introvert dan ekstrovert. Setelah membaca tulisan ini, kamu tipe kepribadian yang mana guys? Introvert or extrovert?
Tipe ini bukan suatu aib atau suatu yang buruk guys. Kalau kamu berkepribadian introvert, jangan berusaha jadi ekstrovert ataupun sebaliknya. Dengan adanya kepribadian ini, semua orang jadi unik seperti pelangi yang mempunyai banyak warna. So, syukuri dan cintai dirimu sendiri terlebih dahulu guys, sebelum kamu menginginkan orang lain untuk mencintaimu. (*M.J)

Sumber:



Wednesday, 6 June 2018

Kritik Lagu Ummi Karya Hadad Alwi


Ummi yaa lahnan a’syaqohu
Ibu, lagu yang paling kugemari
wanasyidan dauman ansyuduhu
irama yang selalu kudendangkan
Fikulli makanin adzkuruhu
di mana sahaja, aku mengingatinya
wa-azhollu azhollu uroddiduhu
selalu dan selalu aku nyanyikan…
Ummi yaa ruuhi wa-hayati
Ibu, wahai jiwaku dan hidupku
yaa bahjata nafsi wamunaati
pemberi kebahagiaan dan harapan
Unsi filhadhiri wal-ati… 2x
sekarang, juga di masa hadapan…
Allohu ta’aala aushoni
Allah memerintahkan aku
fissirri walau fil i’laani
dalam ku sendiri atau terbuka
Bilbirri laki wal-ihsaani… 2x
supaya bersikap membahagiakan terhadapmu, dan mengasihimu…
Ismuki manquusyun fi qolbi
Namamu wahai ibu terpahat di hatiku
Hubbuki yahdini fi darbi
cintaku padamu membawaku ke jalan yang benar
wadu’a-i yahfazhuki robbiy… 2x
dan doaku selalu, semoga Allah sentiasa menjagamu…
Menciptakan suatu karya tidaklah harus menggunakan kata-kata yang sulit dipahami atau menggunakan kata-kata kiasan. Seperti lagu Ummi yang dinyanyikan oleh Hadad Alwi ini mempunyai kata-kata yang sederhana namun tetap mengena di hati para pendengarnya, apalagi jika membaca liriknya sambil mendengarkan musiknya secara langsung, kita pasti langsung teringat akan orang yang telah melahirkan kita dengan susah payah.
Lagu Ummi ini bercerita mengenai seorang anak yang selalu menghormati dan menyayangi ibunya. Dibalik penciptaan lagu ini, pasti sang pencipta mempunyai tujuan agar para pendengar bisa berbakti kepada ibunya. Lagu ini sangat bagus untuk diperdengarkan tatkala kita sedang merindukan seorang ibu. Selain itu, lagu ini juga bisa menjadi persembahan untuk seorang ibu sebagai bukti kasih sayang kita kepada beliau. Secara keseluruhan, lagu ini benar-benar bagus mulai dari liriknya hingga alunan musiknya.

Monday, 4 June 2018

Dibalik Cerpen Perampok Karya M. Shoim Anwar

PERAMPOK
M. Shoim Anwar

Perampok yang tertangkap dini hari tadi malam adalah anakmu. Tapi kau tetap saja bersikukuh bahwa semua keluargamu adalah keluarga baik-baik. Masih saja kau bersilat dengan lidahmu yang bercabang-cabang seperti cemara. Padahal kau tahu, aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu; seperti sungai yang terjal, menyangkut konvoi bangkai dan kotoran dari hulu hingga muara. Bau busuk, amis, dan anyir tak lepas dari penciumanku sekarang kau mau berkelit apa lagi?
Perampok yang dihajar masa dini hari itu adalah anakmu. Aku tak perlu lagi pengakuan atau penolakanmu. Terlalu sederhana bila kata-katamu kau berondongkan seperti itu. Habiskanlah ludahmu, peraslah energimu, dan bila perlu keluarkan semua timbunan yang bersarang di otakmu. Aku tak akan goyah. Kesaksianku terlalu tegar untuk kau kelabui secara murahan.
Lihatlah tengkukmu sendiri. Kau tentu tak sanggup. Itulah kehidupan. Betapa sulit menggerayangi kebobrokan diri sendiri. Kau masih saja berjalan dengan tegar, mengumbar senyum sepanjang jalan, bahkan masih tega mempertontonkan keculasan yang kronis.
“Semua adalah fitnah,” katamu. “Mereka sengaja ingin mendiskreditkan kami sekeluarga.”
“Kata-kata itu sudah klise,” aku menimpali.
“Kami bukanlah penyair. Kami tak sanggup merakit kata-kata indah. Ini kenyataan. Kami adalah korban fitnah. Dan itu lebih kejam dari pembunuhan. Jadi, kami punya hak untuk membela diri.”
“Apalah arti pembelaan jika saya sudah tahu semuanya.”
“Apa yang kamu lihat bukanlah kenyataan.”
“Maksudnya?”
“Apiori.”
“Puih! Kata-kata apa lagi itu?”
“Menerima kebenaran memang tak mudah. Itu kata-katamu juga kan?”
“Jangan membalik-balik kenyataan!”
“Kata-kata itu berlaku untuk kamu juga.”
Prek!”
Siapa lagi yang tak tahu bahwa perampok sial dini hari tadi adalah anakmu. Bersama gerombolannya dia menggasak dolog. Gudang penyimpanan makanan rakyat itu diodol-odol, digembosi, serta  dikuras dengan berani. Mereka tak mau tahu bahwa dolog itu adalah pengisi perut rakyat. Mereka telah menggerogoti gelombang demi gelombang. Seperti milik bapaknya saja!
Kepuasan ternyata tak kunjung datang. Entah berapa banyak isi dolog itu dikuras. Penduduk yang tadinya tak berani melawan karena takut, lama-lama meledak juga nyali mereka. Dini hari itu kentongan di gardu desa ditabuh. Kentong titir menyentak keheningan malam. Penduduk terbangun. Teriakan menggema di mana-mana. Gerombolan itu dikejar beramai-ramai oleh warga desa. Mereka kabur tunggang langgang. Gerombolan itu berpencar meloloskan diri. Akhirnya, tertangkaplah seorang. Dia adalah anakmu!
Kau masih mau mengelak lagi! Lelaki itu benar-benar anakmu. Perawakannya sedang. Rambutnya pendek. Keningnya agak lebar. Berkumis. Bibir atasnya agak runcing. Sipit matanya. Seperti kamu. Dan aku telah mengenal namanya.
“Bunuh dia!” teriak salah satu warga desa. Mereka menghajar lelaki itu secara membabi buta.
“Gantung!”
“Hancurkan!”
“Jangan! Kita harus menangkap dia secara hidup-hidup, biar bisa mengorek informasi lebih lanjut!”
Lelaki yang sudah babak belur itu diseret ke depan balai desa. Di bawah lampu yang terang, aku mengamatinya dengan teliti. Percikan-percikan darah terlihat masih basah. Pakaiannya robek dari leher sampai pangkal punggung. Dia merintih-rintih minta ampun. Menggelepar-gelepar di tanah kering seperti cacing kepanasan.
“Kau sudah kaya raya masih juga merampok!” aku menghardiknya.
“Ampun…ampun…”
“Mulut bisa minta ampun! Tapi nafsu hatimu sekeras batu. Jika kau dibebaskan, pasti kau akan merampok lagi!”
Dini hari itu warga desa membangunkan Pak Lurah. Sang perampok dibawa ke hadapannya. Pak Lurah terkejut. Ada ekspresi heran. Pak Lurah tidak menampakkan wajah seram seperti biasanya.
“Kamu?” suara Pak Lurah lirih.
Perampok itu menatap wajah Pak Lurah dengan sorot mata berbinar. Sepertinya dia memendam harapan. Beberapa saat, tak ada kata-kata. Pak Lurah lantas mendesah panjang.
“Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing. Biarlah perampok ini di sini.” Kata Pak Lurah pada warga desa.
“Nanti dia kabur, Pak,” seorang warga menyahut.
“Percayalah.”
“Kami akan tetap di sini, Pak Lurah. Kami tak ingin perampok ini lepas.”
“Kan ada petugas hansip?”
Pak Lurah terlihat berbicara dengan sang perampok, tapi tak terlalu jelas bagi kami. Beberapa saat setelah itu, datanglah mobil patroli. Setelah terlibat pembicaraan dengan Pak Lurah, para polisi itu segera membawa perampok keluar dari desa kami. Entah ke mana.
“Kita serahkan urusannya pada pihak yang berwajib. Sekarang pulanglah kalian semua.”
Ya, perampok yang dibawa oleh polisi itu adalah anakmu. Aku melihat pada lengan kanannya ada bekas bacokan memanjang. Yang namanya bangkai pasti akan berbau jua. Lewatlah di jalan-jalan, pasti semua orang akan nyinyir memandangmu.
Tiba-tiba aku tersentak. Tengah malam yang pekat, kaca rumahku dihantam dari luar. Tiga kali, kaca pintu dan jendela pecah berantakan. Aku cepat-cepat keluar. Begitu pintu terkuak, sebuah pukulan sekonyong-konyong menancap di pipiku, lantas disusul lagi dengan pukulan-pukulan berikutnya secara beruntun. Beberapa orang serentak mengeroyok aku. Aku menjadi oleng. Seperti ada pula benda keras yang dihantam ke tubuhku. Dan ketika beberapa tendangan mendarat di perut, aku pun roboh. Dalam waktu yang bersamaan aku mendengar ada bunyi sepeda motor meraung-raung. Mereka kemudian kabur dengan cepat.
Ini pasti ulah busuk anakmu. Sebab dua hari setelah itu orang-orang kampung banyak yang melihat bahwa anakmu pulang ke rumah pada malam hari. Dia telah dibebaskan. Berapa saja yang kau bayarkan sehingga pengadilan pun tercampak ke keranjang sampah.
Beberapa hari setelah itu, aku dipanggil ke kantor polisi. Aku diinterogasi dan dituduhi telah mencemarkan nama baik seseorang. Polisi telah mencecarku dengan segebok pertanyaan. Ternyata yang melaporkan akau adalah kamu! Bangsat!
Kalau toh aku dipenjara karena persekongkolanmu dengan pihak-pihak terkait, biarlah. Toh semua orang sudah tahu. Perampok yang tertangkap dini hari itu adalah anakmu!

Surabaya, 27 Juli 1999

Cerpen tersebut mengangkat cerita mengenai orang yang menguak kejahatan, namun kejahatan itu ditutupi oleh pihak yang melakukan kejahatan. Pengarang secara tidak langsung menyoroti kehidupan di Indonesia bahwa segala sesuatu bisa dituntaskan dengan uang. Yang bersalah akan menjadi benar dan yang benar akan menjadi salah.
Selain itu cerpen ini menarik untuk dibaca, dilihat dari penggunaan bahasanya yang indah, seperti bahasa yang biasanya digunakan dalam menciptakan puisi. Berikut penggalannya.
Perampok yang tertangkap dini hari tadi malam adalah anakmu. Tapi kau tetap saja bersikukuh bahwa semua keluargamu adalah keluarga baik-baik. Masih saja kau bersilat dengan lidahmu yang bercabang-cabang seperti cemara. Padahal kau tahu, aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu; seperti sungai yang terjal, menyangkut konvoi bangkai dan kotoran dari hulu hingga muara. Bau busuk, amis, dan anyir tak lepas dari penciumanku sekarang kau mau berkelit apa lagi?
Bahasa tersebut banyak menggunakan kata-kata kiasan, tidak seperti bahasa cerpen umumnya yang selalu menggunakan bahasa sederhana atau bahasa sehari-hari. Hal yang menarik dari cerpen ini tidak hanya penggunaan bahasa saja, melainkan juga penggunaan kata ganti yang menggunakan “Kau”, kata ganti “Kau” seringkali ditemukan pada novel atau cerpen terjemahan, namun cerpen ini yang merupakan cerpen asli dari Indonesia menggunakan kata ganti “Kau” yang menarik untuk dibaca.

Goyah

Aku benar-benar kecewa atas diriku sendiri, aku ingin mencaci diriku yang tidak bisa membedakan mana tulus dan mana modus. Apalagi selama in...