PERAMPOK
M. Shoim Anwar
Perampok yang tertangkap dini hari tadi malam adalah
anakmu. Tapi kau tetap saja bersikukuh bahwa semua keluargamu adalah keluarga
baik-baik. Masih saja kau bersilat dengan lidahmu yang bercabang-cabang seperti
cemara. Padahal kau tahu, aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu; seperti
sungai yang terjal, menyangkut konvoi bangkai dan kotoran dari hulu hingga
muara. Bau busuk, amis, dan anyir tak lepas dari penciumanku sekarang kau mau
berkelit apa lagi?
Perampok yang dihajar masa dini hari itu adalah
anakmu. Aku tak perlu lagi pengakuan atau penolakanmu. Terlalu sederhana bila
kata-katamu kau berondongkan seperti itu. Habiskanlah ludahmu, peraslah
energimu, dan bila perlu keluarkan semua timbunan yang bersarang di otakmu. Aku
tak akan goyah. Kesaksianku terlalu tegar untuk kau kelabui secara murahan.
Lihatlah tengkukmu sendiri. Kau tentu tak sanggup.
Itulah kehidupan. Betapa
sulit menggerayangi kebobrokan diri sendiri. Kau masih saja berjalan dengan
tegar, mengumbar senyum sepanjang jalan, bahkan masih tega mempertontonkan
keculasan yang kronis.
“Semua adalah fitnah,” katamu. “Mereka sengaja ingin
mendiskreditkan kami sekeluarga.”
“Kata-kata itu sudah klise,” aku menimpali.
“Kami bukanlah penyair. Kami tak sanggup merakit
kata-kata indah. Ini kenyataan. Kami adalah korban fitnah. Dan itu lebih kejam
dari pembunuhan. Jadi, kami punya hak untuk membela diri.”
“Apalah arti pembelaan jika saya sudah tahu semuanya.”
“Apa yang kamu lihat bukanlah kenyataan.”
“Maksudnya?”
“Apiori.”
“Puih! Kata-kata apa lagi itu?”
“Menerima kebenaran memang tak mudah. Itu kata-katamu
juga kan?”
“Jangan membalik-balik kenyataan!”
“Kata-kata itu berlaku untuk kamu juga.”
“Prek!”
Siapa lagi yang tak tahu bahwa perampok sial dini hari
tadi adalah anakmu. Bersama gerombolannya dia menggasak dolog. Gudang
penyimpanan makanan rakyat itu diodol-odol, digembosi, serta dikuras dengan berani. Mereka tak mau tahu
bahwa dolog itu adalah pengisi perut rakyat. Mereka telah menggerogoti
gelombang demi gelombang. Seperti milik bapaknya saja!
Kepuasan ternyata tak kunjung datang. Entah berapa
banyak isi dolog itu dikuras. Penduduk yang tadinya tak berani melawan karena
takut, lama-lama meledak juga nyali mereka. Dini hari itu kentongan di gardu
desa ditabuh. Kentong titir menyentak keheningan malam. Penduduk terbangun. Teriakan
menggema di mana-mana. Gerombolan itu dikejar beramai-ramai oleh warga desa.
Mereka kabur tunggang langgang. Gerombolan itu berpencar meloloskan diri.
Akhirnya, tertangkaplah seorang. Dia adalah anakmu!
Kau masih mau mengelak lagi! Lelaki itu benar-benar
anakmu. Perawakannya sedang. Rambutnya pendek. Keningnya agak lebar. Berkumis.
Bibir atasnya agak runcing. Sipit matanya. Seperti kamu. Dan aku telah mengenal
namanya.
“Bunuh dia!” teriak salah satu warga desa. Mereka
menghajar lelaki itu secara membabi buta.
“Gantung!”
“Hancurkan!”
“Jangan! Kita harus menangkap dia secara hidup-hidup,
biar bisa mengorek informasi lebih lanjut!”
Lelaki yang sudah babak belur itu diseret ke depan
balai desa. Di bawah lampu yang terang, aku mengamatinya dengan teliti.
Percikan-percikan darah terlihat masih basah. Pakaiannya robek dari leher
sampai pangkal punggung. Dia merintih-rintih minta ampun. Menggelepar-gelepar
di tanah kering seperti cacing kepanasan.
“Kau sudah kaya raya masih juga merampok!” aku
menghardiknya.
“Ampun…ampun…”
“Mulut bisa minta ampun! Tapi nafsu hatimu sekeras
batu. Jika kau dibebaskan, pasti kau akan merampok lagi!”
Dini hari itu warga desa membangunkan Pak Lurah. Sang
perampok dibawa ke hadapannya. Pak Lurah terkejut. Ada ekspresi heran. Pak
Lurah tidak menampakkan wajah seram seperti biasanya.
“Kamu?” suara Pak Lurah lirih.
Perampok itu menatap wajah Pak Lurah dengan sorot mata
berbinar. Sepertinya dia memendam harapan. Beberapa saat, tak ada kata-kata.
Pak Lurah lantas mendesah panjang.
“Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing.
Biarlah perampok ini di sini.” Kata Pak Lurah pada warga desa.
“Nanti dia kabur, Pak,” seorang warga menyahut.
“Percayalah.”
“Kami akan tetap di sini, Pak Lurah. Kami tak ingin perampok
ini lepas.”
“Kan ada petugas hansip?”
Pak Lurah terlihat berbicara dengan sang perampok,
tapi tak terlalu jelas bagi kami. Beberapa saat setelah itu, datanglah mobil
patroli. Setelah terlibat pembicaraan dengan Pak Lurah, para polisi itu segera
membawa perampok keluar dari desa kami. Entah ke mana.
“Kita serahkan urusannya pada pihak yang berwajib.
Sekarang pulanglah kalian semua.”
Ya, perampok yang dibawa oleh polisi itu adalah
anakmu. Aku melihat pada lengan kanannya ada bekas bacokan memanjang. Yang
namanya bangkai pasti akan berbau jua. Lewatlah di jalan-jalan, pasti semua
orang akan nyinyir memandangmu.
Tiba-tiba aku tersentak. Tengah malam yang pekat, kaca
rumahku dihantam dari luar. Tiga kali, kaca pintu dan jendela pecah berantakan.
Aku cepat-cepat keluar. Begitu pintu terkuak, sebuah pukulan sekonyong-konyong
menancap di pipiku, lantas disusul lagi dengan pukulan-pukulan berikutnya
secara beruntun. Beberapa orang serentak mengeroyok aku. Aku menjadi oleng.
Seperti ada pula benda keras yang dihantam ke tubuhku. Dan ketika beberapa
tendangan mendarat di perut, aku pun roboh. Dalam waktu yang bersamaan aku
mendengar ada bunyi sepeda motor meraung-raung. Mereka kemudian kabur dengan
cepat.
Ini pasti ulah busuk anakmu. Sebab dua
hari setelah itu orang-orang
kampung banyak yang melihat bahwa anakmu pulang ke rumah pada malam hari. Dia
telah dibebaskan. Berapa saja yang kau bayarkan sehingga pengadilan pun tercampak ke
keranjang sampah.
Beberapa hari setelah itu, aku dipanggil ke kantor
polisi. Aku diinterogasi dan dituduhi telah mencemarkan nama baik seseorang.
Polisi telah mencecarku dengan segebok pertanyaan. Ternyata yang melaporkan
akau adalah kamu! Bangsat!
Kalau toh aku dipenjara karena persekongkolanmu dengan
pihak-pihak terkait, biarlah. Toh semua orang sudah tahu. Perampok yang
tertangkap dini hari itu adalah anakmu!
Surabaya, 27 Juli 1999
Cerpen
tersebut mengangkat cerita mengenai orang yang menguak kejahatan, namun
kejahatan itu ditutupi oleh pihak yang melakukan kejahatan. Pengarang secara
tidak langsung menyoroti kehidupan di Indonesia bahwa segala sesuatu bisa
dituntaskan dengan uang. Yang bersalah akan menjadi benar dan yang benar akan
menjadi salah.
Selain
itu cerpen ini menarik untuk dibaca, dilihat dari penggunaan bahasanya yang
indah, seperti bahasa yang biasanya digunakan dalam menciptakan puisi. Berikut
penggalannya.
Perampok
yang tertangkap dini hari tadi malam adalah anakmu. Tapi kau tetap saja
bersikukuh bahwa semua keluargamu adalah keluarga baik-baik. Masih saja kau
bersilat dengan lidahmu yang bercabang-cabang seperti cemara. Padahal kau tahu,
aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu; seperti sungai yang terjal,
menyangkut konvoi bangkai dan kotoran dari hulu hingga muara. Bau busuk, amis,
dan anyir tak lepas dari penciumanku sekarang kau mau berkelit apa lagi?
Bahasa
tersebut banyak menggunakan kata-kata kiasan, tidak seperti bahasa cerpen
umumnya yang selalu menggunakan bahasa sederhana atau bahasa sehari-hari. Hal
yang menarik dari cerpen ini tidak hanya penggunaan bahasa saja, melainkan juga
penggunaan kata ganti yang menggunakan “Kau”, kata ganti “Kau” seringkali
ditemukan pada novel atau cerpen terjemahan, namun cerpen ini yang merupakan
cerpen asli dari Indonesia menggunakan kata ganti “Kau” yang menarik untuk
dibaca.
No comments:
Post a Comment