Friday, 8 June 2018

Cerpen Burung Dashi Karya Nur Himami



            Pagi sangat cerah. Burung bernyanyi seakan-akan menyambut datangnya pagi hari itu. Begitu juga para petani menyambut pagi hari dengan beraktifitas seperti biasanya. Dengan kaki telanjang, mereka menyusuri jalan setapak yang tandus. Hanya seorang janda tidak melakukan aktifitas seperti penduduk lainnya, Ratih namanya. Ia sedang menguji kedua anaknya yaitu Dashi dan Shinta, janda setengah baya itu ingin tahu siapa yang paling pandai memasak. Apakah anak kandungnya atau anak tirinya.
            Bau sedap sudah tercium dari dapur, Ratih pun tak sabar untuk segera mencicipinya. Tak lama kemudian dua gadis anggun muncul dari dapur, mereka masing-masing membawa piring yang di atasnya ada masakan lezat dan sedap. Shinta (anak tiri Ratih) meletakkan hidangan itu di depan Ratih.
            “Mak, ini masakan buatan saya sendiri yang dulu sering diminta bapak untuk makan sehari-hari. Semoga emak masih menyukainya”
Ratih diam, sekedar melihat masakan yang diberikan anak tirinya saja tidak.
            “Oh ya mak, Dashi masak makanan kesukaan emak loh” sahut Dashi
            “Terima kasih Dashi, kamu memang anak emak yang paling pandai” kata Ratih memuji
Ia mulai mencicipi masakan Dashi, sampai di lidah, keningnya berkerut.
            ‘Asin sekali masakan Dashi’ kata Ratih dalam hati
Setelah itu ia segera mencicipi masakan buatan Shinta, masakan itu masih panas sehingga asapnya masih mengepul. Dari aromanya sudah terasa kalau masakan Shinta sangat lezat. Sesudah mencicipi, ia berfikir bagaimana cara mengatakan kepada kedua anaknya, apakah ia harus jujur bahwa makanan Shinta lah yang sangat lezat dan sedap. Tapi kalau jujur, ia tidak akan bisa menyingkirkan Shinta dari rumahnya.
            “Dashi masakan kamu enak sekali” puji Ratih sambil tersenyum “Dan kamu Shinta, kamu harus lebih berlatih lagi, agar kamu pandai memasak seperti Dashi. Kamu ini perawan, kalau kamu tidak bisa memasak, apa kata tetangga? Jika kamu masih tidak bisa memasak, emak akan usir kamu” ancam Ratih sungguh-sungguh. Lalu ia keluar dari rumah.
            “Shin sabar ya? Aku yakin masakanmu juga enak seperti masakanku, tapi emak saja yang tidak bisa merasakannya” hibur Dashi kepada saudara tirinya itu
            “Makasih ya Dash” Shinta memeluk Dashi
            Sementara Ratih, ia berlari ke hutan. Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan, Shinta memang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan Dashi. Keinginannya untuk membunuh Shinta muncul kembali, sudah lama ia ingin melakukannya, tapi niat itu selalu urung karena kelakuan Dashi. Ratih mulai berjalan lagi, ia harus mencari tumbuhan kayu untuk membuat gelang. Setelah lama mencari, akhirnya ketemu juga. Tangannya yang terampil memulai untuk membuat gelang. Ratih hanya membuat satu, hanya untuk Dashi. Dengan adanya gelang itu, ia bisa tahu mana Dashi dan mana Shinta, karena mereka berdua seperti anak kembar, meskipun Shinta bukan anak kandungnya.
            Menjelang sore, ia segera pulang ke rumah dengan menggenggam gelang di tangan kanannya. Shinta mendekatinya di beranda.
            “Apa itu mak?” tanya Shinta sambil menunjuk ke tangan Ratih
            “Kamu tidak perlu tahu Shinta” jawab Ratih ketus
Malam tiba. Ratih memanggil anak kandungnya.
            “Ada apa mak?” tanya Dashi
            “Emak ada sesuatu buat kamu, emak sendiri yang bikin, emak pakaikan ya?”
            “Gelang? Wah cantik sekali”
Tiba-tiba Shinta muncul dari dalam kamarnya, ia mendekati mereka berdua.
            “Emak juga membuatkan untuk Shinta kan?” tanya Dashi pada emaknya
Shinta tersenyum, dalam hatinya ia berfikir juga dibuatkan gelang seperti Dashi.
            “Ini hadiah untuk Dashi yang berhasil memasak dengan sangat enak”
            “Emak kok gitu? Harusnya emak tetap bikin dua agar Shinta semangat belajar memasak” protes Dashi
            “Aku nggak apa-apa kok, kalau begini aku jadi ingin terus belajar memasak, biar emak nanti bikinin aku gelang seperti kamu Dashi” Shinta mengembangkan senyumnya
            “Tuh Shinta aja nggak apa-apa, kenapa kamu mesti protes. Ya sudah emak capek, emak tidur dulu”
Di dalam kamar, Ratih tidak tidur, ia menunggu fajar tiba.
            ‘Akhirnya aku bisa memberikan gelang itu kepada Dashi, dengan begitu aku bisa menyingkirkan Shinta. Hanya menunggu fajar, maka impianku akan kenyataan’ batin Ratih penuh harapan
            Shinta merebahkan tubuhnya di ranjang samping Dashi, mereka berdua satu ranjang. Shinta melihat wajah Dashi yang sudah memejamkan mata, dari raut wajah Dashi, kelihatan ia sangat bahagia, mungkin karena hari ini adalah hari keberuntungan Dashi. Pandangan Shinta tak bisa lepas dari wajah Dashi, ia membatin.
            ‘Aku dan Dashi adalah saudara tiri, beda bapak dan beda emak. Tapi kenapa aku dan dia begitu mirip? Postur tubuh, warna kulit, dan rambut juga sama. Apa ini sebuah keajaiban?’ Shinta menghembuskan nafas dalam-dalam, ia memalingkan wajahnnya dari wajah Dashi.
            “Shinta?”
            “Dashi? Aku ganggu tidur kamu ya? Maaf...”
            “Enggak kok Shin. Kamu kenapa? Dari tadi kok nggak tidur?”
            “Aku nggak bisa tidur Dash, hatiku gelisah, entah kenapa”
            “Jangan difikirkan Shin” ujar Dashi sambil memegang lengan Shinta “Eh Shin, aku mau kamu pakai gelang ini” lanjutnya seraya melepas gelang pemberian Ratih
            “Jangan, jangan Dash. Aku takut nanti kalau ketahuan emak, emak pasti marah” tolak Shinta
            “Emak tidak akan tahu Shin, sekarang kamu pakai dan besok sebelum keluar kamar, kamu kembalikan ke aku”
Gelang pemberian Ratih itu segera dipakaikan ke tangan Shinta.
            “Makasih ya Dash, kamu mau meminjami gelang ini”
            “Sebagai saudara, kita harus bahagia bersama”
Mereka berdua tertawa
            Fajar mulai terbit. Ratih segera mengambil pisau dan masuk ke dalam kamar Dashi dan Shinta. Terlebih dahulu ia melihat gelang yang diberikan tadi sore. Dengan cepat pisau itu menancap ke perut anaknya yang tidak memakai gelang pemberiannya. Dashi bangun merasakan sakit yang luar biasa dan terkejut mendapati Ratih masih memegang pisau yang menancap perutnya.
            “Emak...”
Shinta ikut bangun, dia melihat darah berceceran dari perut Dashi.
            “Dashi... kamu kenapa?” tanya Shinta histeris
Mendengar Shinta memanggil nama Dashi, pisau yang dibawa Ratih jatuh ke tanah. Dia salah membunuh, yang ia bunuh bukan anak tirinya, melainkan anak kandungnya sendiri.
            “Dashi? Jadi kamu Dashi? Maafkan emak, emak tidak bermaksud membunuh kamu. Tapi... kenapa kamu memberikan gelang itu pada Shinta?”
            “Jadi emak mau bunuh Shinta? Dengan cara membuat gelang untuk aku pakai? Agar emak mudah untuk membunuh Shinta? Emak tega, emak tega dengan kedua anak emak sendiri” ujar Dashi menangis, ia berlari keluar dengan sekuat tenaga
            “Jadi emak yang bunuh Dashi?” tanya Shinta tidak percaya
Ratih mengabaikan pertanyaan Shinta dan berlari mengejar Dashi.
            “Dashi kamu mau kemana? Emak menyesal. Bukan maksud emak untuk membunuh kamu, kembalilah Dashi” teriak Ratih
Dashi tidak memperdulikan perkataan Ratih, ia terus berlari. Sampai akhirnya Dashi terpeleset jatuh ke sungai dan terseret arus.
            “Dashi....” teriak Ratih histeris
Ratih mengikuti arus itu, tapi Dashi tidak ditemukan, ia yakin Dashi masih hidup dan ia berniat untuk mencari Dashi sampai ketemu. Sampai akhirnya ia menjelma menjadi seekor burung, lalu ia terbang dengan berkicau memanggil nama Dashi.
            Dashi, Dashi, Sintiriri....
            Dashi, Dashi, Sintiriri....
            Di sebuah desa ada seorang laki-laki yang sudah tua, sudah beberapa minggu ia sakit, keluarganya mencemaskannya, ia berada di rumah bersama anaknya. Di atas genting rumahnya terdengar burung yang sedang berkicau.
            Dashi, Dashi, Sintiriri...
Anaknya tidak mengerti kenapa burung itu tidak pergi dari sana, padahal sudah lima hari ia di atas genting rumahnya. Tiga hari berlalu, akhirnya kakek itu meninggal dunia. Anaknya tidak kuasa, ia memilih berdiam diri di beranda, melihat seekor burung bertengger di pohon dekat rumahnya, masih dengan kicauan yang sama.
            “Ada apa? Kamu kok bengong?” tanya tetangga menghampirinya
            “Kamu lihat burung di pohon itu?”
            “Iya, memangnya kenapa?”
            “Tiga hari lalu, burung itu terus-menerus berkicau di atas genting rumah saya”
            “Iya, waktu pamanku dan suami adikku meninggal dunia, burung itu juga berkicau”
            “Ya, aku heran, kenapa saat ada orang mau meninggal, pasti burung itu berkicau di dekat rumah keluarganya”
            “Apa mungkin burung itu pembawa berita kematian?”
            “Iya bisa jadi. Apa ya nama burung itu? Baru kali ini aku  melihatnya”
            “Mungkin burung Dashi, sesuai dengan kicauannya”
            Setelah bertengger di pohon, burung itu mulai terbang, sambil berkicau burung itu terbang semakin tinggi.
Dashi, Dashi, Sintiriri....
Dashi, Dashi, Sintiriri....
Dashi, Dashi, Sintiriri....

Gresik, 2010

No comments:

Post a Comment

Goyah

Aku benar-benar kecewa atas diriku sendiri, aku ingin mencaci diriku yang tidak bisa membedakan mana tulus dan mana modus. Apalagi selama in...