Pagi sangat cerah. Burung bernyanyi
seakan-akan menyambut datangnya pagi hari itu. Begitu juga para petani
menyambut pagi hari dengan beraktifitas seperti biasanya. Dengan kaki
telanjang, mereka menyusuri jalan setapak yang tandus. Hanya seorang janda
tidak melakukan aktifitas seperti penduduk lainnya, Ratih namanya. Ia sedang
menguji kedua anaknya yaitu Dashi dan Shinta, janda setengah baya itu ingin
tahu siapa yang paling pandai memasak. Apakah anak kandungnya atau anak
tirinya.
Bau sedap sudah tercium dari dapur,
Ratih pun tak sabar untuk segera mencicipinya. Tak lama kemudian dua gadis
anggun muncul dari dapur, mereka masing-masing membawa piring yang di atasnya
ada masakan lezat dan sedap. Shinta (anak tiri Ratih) meletakkan hidangan itu
di depan Ratih.
“Mak, ini masakan buatan saya
sendiri yang dulu sering diminta bapak untuk makan sehari-hari. Semoga emak
masih menyukainya”
Ratih
diam, sekedar melihat masakan yang diberikan anak tirinya saja tidak.
“Oh ya mak, Dashi masak makanan kesukaan
emak loh” sahut Dashi
“Terima kasih Dashi, kamu memang
anak emak yang paling pandai” kata Ratih memuji
Ia
mulai mencicipi masakan Dashi, sampai di lidah, keningnya berkerut.
‘Asin sekali masakan Dashi’ kata
Ratih dalam hati
Setelah
itu ia segera mencicipi masakan buatan Shinta, masakan itu masih panas sehingga
asapnya masih mengepul. Dari aromanya sudah terasa kalau masakan Shinta sangat
lezat. Sesudah mencicipi, ia berfikir bagaimana cara mengatakan kepada kedua
anaknya, apakah ia harus jujur bahwa makanan Shinta lah yang sangat lezat dan
sedap. Tapi kalau jujur, ia tidak akan bisa menyingkirkan Shinta dari rumahnya.
“Dashi masakan kamu enak sekali”
puji Ratih sambil tersenyum “Dan kamu Shinta, kamu harus lebih berlatih lagi,
agar kamu pandai memasak seperti Dashi. Kamu ini perawan, kalau kamu tidak bisa
memasak, apa kata tetangga? Jika kamu masih tidak bisa memasak, emak akan usir
kamu” ancam Ratih sungguh-sungguh. Lalu ia keluar dari rumah.
“Shin sabar ya? Aku yakin masakanmu
juga enak seperti masakanku, tapi emak saja yang tidak bisa merasakannya” hibur
Dashi kepada saudara tirinya itu
“Makasih ya Dash” Shinta memeluk
Dashi
Sementara Ratih, ia berlari ke
hutan. Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan, Shinta memang mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan Dashi. Keinginannya untuk membunuh Shinta muncul kembali,
sudah lama ia ingin melakukannya, tapi niat itu selalu urung karena kelakuan
Dashi. Ratih mulai berjalan lagi, ia harus mencari tumbuhan kayu untuk membuat
gelang. Setelah lama mencari, akhirnya ketemu juga. Tangannya yang terampil
memulai untuk membuat gelang. Ratih hanya membuat satu, hanya untuk Dashi.
Dengan adanya gelang itu, ia bisa tahu mana Dashi dan mana Shinta, karena
mereka berdua seperti anak kembar, meskipun Shinta bukan anak kandungnya.
Menjelang sore, ia segera pulang ke
rumah dengan menggenggam gelang di tangan kanannya. Shinta mendekatinya di
beranda.
“Apa itu mak?” tanya Shinta sambil
menunjuk ke tangan Ratih
“Kamu tidak perlu tahu Shinta” jawab
Ratih ketus
Malam
tiba. Ratih memanggil anak kandungnya.
“Ada apa mak?” tanya Dashi
“Emak ada sesuatu buat kamu, emak
sendiri yang bikin, emak pakaikan ya?”
“Gelang? Wah cantik sekali”
Tiba-tiba
Shinta muncul dari dalam kamarnya, ia mendekati mereka berdua.
“Emak juga membuatkan untuk Shinta
kan?” tanya Dashi pada emaknya
Shinta
tersenyum, dalam hatinya ia berfikir juga dibuatkan gelang seperti Dashi.
“Ini hadiah untuk Dashi yang
berhasil memasak dengan sangat enak”
“Emak kok gitu? Harusnya emak tetap
bikin dua agar Shinta semangat belajar memasak” protes Dashi
“Aku nggak apa-apa kok, kalau begini
aku jadi ingin terus belajar memasak, biar emak nanti bikinin aku gelang
seperti kamu Dashi” Shinta mengembangkan senyumnya
“Tuh Shinta aja nggak apa-apa, kenapa
kamu mesti protes. Ya sudah emak capek, emak tidur dulu”
Di
dalam kamar, Ratih tidak tidur, ia menunggu fajar tiba.
‘Akhirnya aku bisa memberikan gelang
itu kepada Dashi, dengan begitu aku bisa menyingkirkan Shinta. Hanya menunggu
fajar, maka impianku akan kenyataan’ batin Ratih penuh harapan
Shinta merebahkan tubuhnya di
ranjang samping Dashi, mereka berdua satu ranjang. Shinta melihat wajah Dashi
yang sudah memejamkan mata, dari raut wajah Dashi, kelihatan ia sangat bahagia,
mungkin karena hari ini adalah hari keberuntungan Dashi. Pandangan Shinta tak
bisa lepas dari wajah Dashi, ia membatin.
‘Aku dan Dashi adalah saudara tiri,
beda bapak dan beda emak. Tapi kenapa aku dan dia begitu mirip? Postur tubuh,
warna kulit, dan rambut juga sama. Apa ini sebuah keajaiban?’ Shinta
menghembuskan nafas dalam-dalam, ia memalingkan wajahnnya dari wajah Dashi.
“Shinta?”
“Dashi? Aku ganggu tidur kamu ya?
Maaf...”
“Enggak kok Shin. Kamu kenapa? Dari
tadi kok nggak tidur?”
“Aku nggak bisa tidur Dash, hatiku
gelisah, entah kenapa”
“Jangan difikirkan Shin” ujar Dashi
sambil memegang lengan Shinta “Eh Shin, aku mau kamu pakai gelang ini”
lanjutnya seraya melepas gelang pemberian Ratih
“Jangan, jangan Dash. Aku takut
nanti kalau ketahuan emak, emak pasti marah” tolak Shinta
“Emak tidak akan tahu Shin, sekarang
kamu pakai dan besok sebelum keluar kamar, kamu kembalikan ke aku”
Gelang
pemberian Ratih itu segera dipakaikan ke tangan Shinta.
“Makasih ya Dash, kamu mau meminjami
gelang ini”
“Sebagai saudara, kita harus bahagia
bersama”
Mereka
berdua tertawa
Fajar mulai terbit. Ratih segera
mengambil pisau dan masuk ke dalam kamar Dashi dan Shinta. Terlebih dahulu ia
melihat gelang yang diberikan tadi sore. Dengan cepat pisau itu menancap ke
perut anaknya yang tidak memakai gelang pemberiannya. Dashi bangun merasakan
sakit yang luar biasa dan terkejut mendapati Ratih masih memegang pisau yang
menancap perutnya.
“Emak...”
Shinta
ikut bangun, dia melihat darah berceceran dari perut Dashi.
“Dashi... kamu kenapa?” tanya Shinta
histeris
Mendengar
Shinta memanggil nama Dashi, pisau yang dibawa Ratih jatuh ke tanah. Dia salah
membunuh, yang ia bunuh bukan anak tirinya, melainkan anak kandungnya sendiri.
“Dashi? Jadi kamu Dashi? Maafkan
emak, emak tidak bermaksud membunuh kamu. Tapi... kenapa kamu memberikan gelang
itu pada Shinta?”
“Jadi emak mau bunuh Shinta? Dengan
cara membuat gelang untuk aku pakai? Agar emak mudah untuk membunuh Shinta?
Emak tega, emak tega dengan kedua anak emak sendiri” ujar Dashi menangis, ia
berlari keluar dengan sekuat tenaga
“Jadi emak yang bunuh Dashi?” tanya
Shinta tidak percaya
Ratih
mengabaikan pertanyaan Shinta dan berlari mengejar Dashi.
“Dashi kamu mau kemana? Emak
menyesal. Bukan maksud emak untuk membunuh kamu, kembalilah Dashi” teriak Ratih
Dashi
tidak memperdulikan perkataan Ratih, ia terus berlari. Sampai akhirnya Dashi
terpeleset jatuh ke sungai dan terseret arus.
“Dashi....” teriak Ratih histeris
Ratih
mengikuti arus itu, tapi Dashi tidak ditemukan, ia yakin Dashi masih hidup dan
ia berniat untuk mencari Dashi sampai ketemu. Sampai akhirnya ia menjelma
menjadi seekor burung, lalu ia terbang dengan berkicau memanggil nama Dashi.
Dashi, Dashi, Sintiriri....
Dashi, Dashi, Sintiriri....
∞
Di sebuah desa ada seorang laki-laki
yang sudah tua, sudah beberapa minggu ia sakit, keluarganya mencemaskannya, ia
berada di rumah bersama anaknya. Di atas genting rumahnya terdengar burung yang
sedang berkicau.
Dashi, Dashi, Sintiriri...
Anaknya
tidak mengerti kenapa burung itu tidak pergi dari sana, padahal sudah lima hari
ia di atas genting rumahnya. Tiga hari berlalu, akhirnya kakek itu meninggal
dunia. Anaknya tidak kuasa, ia memilih berdiam diri di beranda, melihat seekor
burung bertengger di pohon dekat rumahnya, masih dengan kicauan yang sama.
“Ada apa? Kamu kok bengong?” tanya
tetangga menghampirinya
“Kamu lihat burung di pohon itu?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Tiga hari lalu, burung itu
terus-menerus berkicau di atas genting rumah saya”
“Iya, waktu pamanku dan suami adikku
meninggal dunia, burung itu juga berkicau”
“Ya, aku heran, kenapa saat ada
orang mau meninggal, pasti burung itu berkicau di dekat rumah keluarganya”
“Apa mungkin burung itu pembawa
berita kematian?”
“Iya bisa jadi. Apa ya nama burung
itu? Baru kali ini aku melihatnya”
“Mungkin burung Dashi, sesuai dengan
kicauannya”
Setelah bertengger di pohon, burung
itu mulai terbang, sambil berkicau burung itu terbang semakin tinggi.
Dashi,
Dashi, Sintiriri....
Dashi,
Dashi, Sintiriri....
Dashi,
Dashi, Sintiriri....
Gresik, 2010
No comments:
Post a Comment