Malam yang
menampakkan langit hitam pekat, membuat manusia menyalakan lampu. Kota Surabaya
yang dijuluki sebagai kota metropolitan ini begitu terang, tidak hanya lampu
jalanan yang terpampang di pinggir jalan, pagar jembatan juga dihiasi lampu
berwarna-warni, cahayanya memantul ke air sungai yang terlihat gelap. Surabaya
tidak hanya terang oleh lampu jalan, lampu penghias, ataupun cahaya layar besar
yang sedang menayangkan iklan. Tetapi juga sesak oleh orang yang berlalu lalang
menggunakan mobil atau motor.
Aku melajukan
motor pelan-pelan di antara ratusan pengendara yang lain. Ku lihat jarum pendek
jam tanganku mengarah ke angka enam dan jarum panjangnya mengarah ke angka
empat. Ini adalah jam-jam kritis, di mana jalanan disesaki orang yang tengah
pulang dari mencari nafkah, termasuk aku. Sudah hampir satu setengah tahun
menetap di Surabaya untuk mencari uang membantu menyekolahkan adik-adikku yang
masih kecil. Meskipun aku perempuan dan berasal dari desa, tetapi aku ingin
mempunyai kehidupan seperti orang kota. Tidak sedikit yang berusaha memusnahkan
mimpiku lewat orang tuaku, seperti saat awal aku akan pergi ke kota
metropolitan ini.
“Halah,
Yuk, anak perempuan aja kok disuruh
kerja sampai segitu jauhnya,” kata
Mak Katijah berapi-api.
“Ya
mau gimana lagi, dianya yang minta, tujuannya juga baik,” jawab ibuku yang
sedang memungut singkong di karung.
“Kawinkan
saja sama pacarnya. Yang laki kan udah kerja, nanti bisa minta uang sama dia,”
Mak Siti ikut berkomentar.
“Iya,
daripada ditinggal ke luar kota, entar ditinggal kawin sama yang laki, apa gak nangis ditinggal orang sebaik
anaknya Pak RT,” Mak Rumina menimpali.
“Meskipun
yang laki udah kerja, tapi keluarganya juga bukan orang yang mampu-mampu amat. Toh, dia jadi tulang punggung keluarga
setelah masnya nikah, dan anak saya bukan tipe orang yang suka meminta ke orang
lain,” ujar ibuku sambil mengupas singkong.
“Setidaknya
dia gak terlalu susah kalo sudah
kawin. Rasanya percuma kerja sampai ke luar kota tapi ujung-ujungnya ya ngurus dapur, ngurus suami sama anak, tambah menderita kalo gak punya waktu buat istirahat,” Mak Siti masih semangat mematahkan
harapan ibuku.
Aku yang
mendengar semua percakapan itu di ruang tamu hanya bisa diam dan berharap ibuku
tidak terpengaruh dengan omongan mereka.
“Woy!
Jangan mundur! Belakang banyak kendaraan!”
Suara teriakan
laki-laki membuyarkan lamunanku. Aku mencari asal suara tersebut dan mendapati
sopir angkutan umum sedang melongokkan kepalanya keluar. Jarak mobilnya dan
mobil di depannya begitu dekat, hampir bersentuhan. Tiba-tiba mobil Panther itu
mundur menyentuh bumper angkutan umum, sehingga sang sopir kembali marah-marah
dan menaikkan volume suaranya.
“Dibilangin
jangan mundur malah mundur! Bisa nyetir gak
woy?!” ujarnya sambil memukul-mukul pintu mobilnya.
Sopir mobil
Panther terlihat gugup, sambil membenarkan kacamatanya berusaha memajukan
mobilnya, namun pengendara motor di depannya begitu banyak, tidak ada ruang
baginya untuk menggerakkan mobilnya maju.
Pandangan
seperti itu adalah hal yang biasa terjadi di kota ini, semua pengendara menjadi
tidak sabar dan terburu-buru kalau sudah berada di jalan. Apalagi di jam padat
seperti sekarang. Orang yang baru pulang kerja ingin cepat sampai di rumah,
badan sudah pegal ditambah kemacetan
yang tiada habisnya, membuat orang-orang mudah tersulut emosinya.
Lampu lalu
lintas baru saja berganti berwarna hijau, namun klakson bersahutan seperti
menyuruh pengendara lain segera melajukan kendaraannya.
“Sangat
berbeda dengan daerahku,” batinku.
Aku menghela
nafas, pelan-pelan ku arahkan motorku menuju jalan pulang. Kendaraan masih
padat dan nafasku semakin berat. Sebenarnya hari ini belum waktunya aku libur
kerja, namun aku mengambil cuti agar bisa pulang ke rumah. Entah apa yang
sedang kurasakan, jantungku berdebar seperti perasaan bahagia tetapi di sisi
lain aku merasakan kesedihan. Semua rasa itu terasa samar-samar hingga tidak
bisa dicerna.
Aku
membelokkan motorku ke pom bensin. Membuka jok motor sambil meregangkan badanku
yang terasa kaku. Dari pagi jam delapan sampai setengah enam sore aku banting
tulang, setelah itu mengemasi barang yang kubutuhkan untuk pulang ke rumah.
Setelah
mengisi motor dengan bensin, aku lanjutkan perjalanan pulangku. Terdengar suara
adzan isya bersahutan, seolah-olah muadzin berlomba memanggil orang yang
mendengarnya untuk segera datang menunaikan kewajiban. Sepuluh menit kemudian,
aku sampai di perbatasan kota Surabaya dan Gresik. Ku lihat tanda Surabaya
dicoret, artinya aku telah meninggalkan kota Surabaya. Jalannya sedikit
melebar, namun kendaraan yang kutemui bukan hanya mobil dan motor, truck besar juga ikut memakai jalan yang
lebarnya kurang dari lima belas meter. Beruntung kali ini tidak begitu banyak truck yang lewat, aku bisa menambah kecepatan
laju motor menjadi 50 km per jam.
Angin terasa
menyentuh kulit tanganku. Dinginnya menembus badan yang telah kubungkus dengan
jaket tebal. Tidak terasa aku mulai memasuki jalan aspal yang tidak begitu
mulus, banyak aspal di sana-sini yang tergerus genangan air hujan, sehingga
menciptakan lubang. Aku mulai waspada menghindari lubang yang hampir seukuran
baskom. Setelah itu aku belok kanan, melewati jalan paving, kiri kanan yang
dulunya hamparan sawah sekarang berubah menjadi bangunan pabrik. Kendaraan yang
melewati jalan ini bisa dihitung jari, minimnya lampu penerangan akan menambah
suasana mencekam saat hujan turun.
Sampai di
perempatan, jalannya berganti aspal tipis, lebarnya tak kurang dari tiga meter.
Pemukiman yang berjejer di sini lumayan ramai. Di sebelah kanan jalan ada
warung nasi goreng dan aneka penyetan, sampingnya ada warkop yang disesaki
pengunjung, warung itu tidak hanya digunakan untuk menikmati kopi, tapi juga
tempat bermain kartu dan catur oleh pria dewasa.
Kecepatan laju
motorku hanya 20 km per jam. Depanku juga melaju dump truck yang bermuatan pasir, pengemudinya sangat hati-hati
membawa truck yang bergoyang-goyang
menelusuri jalanan tidak rata. Sampai di pertigaan, aku belok kanan, jalannya
mulai menyempit. Dari arah yang sama ku lihat seorang pemuda yang sedang jalan
kaki, dari posturnya aku sudah kenal betul siapa dia. Rasa sejuk di dada
membuatku tersenyum menyapanya saat melewatinya. Tapi ia hanya diam, kaku.
“Mungkinkah
dia sudah lupa?”
Aku menjadi
sedikit bingung. Tanpa aba-aba aku menoleh ke arah rumahnya. Aku mengerutkan
kening saat menangkap pandangan yang menambah rasa gelisahku.
Sampai di ujung jalan, aku berhenti di
halaman rumahku yang sederhana dan berlantaikan tanah, catnya juga telah
memudar. Bayangan suara ibuku sebulan yang lalu saat menelponku terngiang
kembali.
“Kamu
kapan pulang, Nduk? Ndak dapat kabar
apa-apa kan? Jangan terlalu dipikirkan, sehat-sehat di sana.”
Kakiku terpaku
tidak bisa melangkah ke dalam rumah. Mungkin perasaan yang tak bisa ku terka
bukan karena merindukan keluarga. Tapi merindukan seseorang yang telah lama
tinggal di hatiku.
Aku berbalik
dan mendapati pemuda yang tadi kutemui di jalan sedang berbelok ke rumahnya.
Buru-buru aku menghampirinya.
“Mas....”
Pemuda itu
urung membuka pintu dan berbalik menghadapku. Aku tersenyum dan mendekatinya.
“Apa
kabar?”
“Bagaimana
perjalananmu?”
Tanyaku dan tanyanya bersamaan.
“Panjang
dan melelahkan,” jawabku sambil membuang nafas.
Lima detik aku
menunggu ia menjawab pertanyaanku, rupanya ia tidak ingin menjawabnya.
“Bunga
yang dulu di situ ke mana?” tanyaku menunjuk teras rumahnya dengan pandanganku.
“Sudah
aku pindah ke tempat lain.”
“Kenapa?
Bukannya itu bunga kesukaanmu?”
“Bosan,
bunganya tidak bisa menghasilkan warna yang lain.”
Aku menghirup
udara dalam-dalam dan sedikit mendongakkan kepala. Langit yang tadinya hitam
pekat, kini berubah menjadi agak jingga.
“Seleramu
berubah-ubah, Mas,” kataku menahan nafas.
“Bukan
salahku, bunganya terlalu monoton.”
Udara yang
dingin tadi berganti sedikit panas. Tubuhku berkeringat di dalam jaket yang ku
kenakan.
“Lalu,
kenapa tidak bilang?” suaraku sedikit melemah.
Pemuda
berkulit sawo matang itu hanya memandangku, matanya seolah-olah menjelaskan
sesuatu yang tidak bisa ku mengerti.
Suasana
menjadi hening, telingaku hanya menangkap suara daun yang diterpa angin. Mataku
sedikit panas, cepat-cepat aku menundukkan kepala dan memikirkan sesuatu.
“Sudah
malam,” suara pemuda itu lirih.
Aku mengerti
maksudnya dan segera kubuka tas ranselku, mengambil dompet. Ku lihat ada empat
lembar uang lima puluhan dan kusodorkan padanya. Dahinya berkerut.
“Jaga
bunga yang kamu sukai, belilah pupuk agar dia tetap hidup.”
Pemuda itu
diam tidak bergerak. Aku mendekat dan kugenggamkan uang ke tangannya. Uang itu
tadinya oleh-oleh untuk orang tua dan adik-adikku, tapi aku telah
mengesampingkan mereka.
“Maaf....”
suaraku tercekat.
Aku
membalikkan badan meninggalkannya yang masih berdiri mematung. Setetes air dari
langit jatuh mengenai tanganku. Langkah kakiku terasa berat. Dalam hati aku
bersumpah tidak akan menoleh ke belakang, namun di sisi lain aku ingin kembali
dan mengiba padanya. Menahan semua perasaan itu membuat pandanganku sedikit
kabur dan panas. Saat itulah air yang jatuh semakin deras dan mendinginkan
tubuhku.
*