Tuesday, 24 April 2018

Puisi Jalan Rumahku Karya Nur Himami

Jalan panjang di gang rumahku
menghubungkan dua paru-paru dunia
Dibatasi pagar bambu
Basah berlumur air hujan

Jalan panjang di desaku
berliku dan berbatu
tak menyurutkan tekadku
mencari setitik cahaya
yang menyejukkan jiwa

Jalan panjang yang sempit dan berlubang
bersumpah menjadi saksi bisu
atas janji yang telah terucap
diucapkan dua paru-paru dunia

Jalan panjang mempunyai cabang
Kau tinggalkan separuh jiwamu
di perbatasan tikungan
dan tanpa tersadar
kau pagar rapat dengan bambu

Gresik, 13 Maret 2018

Kritik Lagu Bunda Karya Melly Goeslow


Bunda
Penyanyi: Melly Goeslow
Ku Buka Album Biru
Penuh Debu Dan Usang
Ku Pandangi Semua Gambar Diri
Kecil Bersih Belum Ternoda

Pikirkupun Melayang
Dahulu Penuh Kasih
Teringat Semua Cerita Orang
Tentang Riwayatku

Reff#
Kata Mereka Diriku Slalu Dimanja
Kata Mereka Diriku Slalu Ditimang

Nada Nada Yang Indah
Slalu Terurai Darinya
Tangisan Nakal Dari Bibirku
Takkan Jadi Deritanya
Tangan Halus Dan Suci
Tlah Mengangkat Diri Ini
Jiwa Raga Dan Seluruh Hidup
Rela Dia Berikan

Back to REFF

Oh Bunda Ada Dan Tiada Dirimu
Kan Slalu Ada Di Dalam Hatiku …

Semua karya sastra mempunyai unsur intrinsik, tidak terkecuali lagu, puisi yang dinyanyikan. Dalam puisi unsur intrinsik mempunyai dua jenis, yaitu unsur batin dan unsur fisik. Unsur batin meliputi tema, amanat, dan emosi. Sedangkan unsur fisik yang membangun puisi secara struktur, seperti rima, gaya bahasa, dan diksi. Berikut ulasan secara lengkapnya.
Tema dalam puisi merupakan persoalan atau ide dasar yang disajikan dalam bentuk karya tulis. Tema dalam lagu Bunda milik Melly Goeslow tersebut bertema tentang humanisme, yaitu seorang anak yang mengenang masa kecil bersama ibunya. Seperti penggalan lirik pada bait terakhir berikut //Oh Bunda Ada Dan Tiada Dirimu/ Kan Slalu Ada Di Dalam Hatiku …/.
Emosi dalam puisi merupakan perasaan penyair kepada pembaca, hal ini tertuang pada karya sastra tersebut. Emosi dalam lagu Bunda sesuai dengan tema, yaitu bernada sedih karena si anak hanya bisa melihat foto ibunya dan mendengar cerita dari orang-orang mengenai ibunya. Seperti penggalan lirik pada bait pertama berikut //Ku Buka Album Biru/ Penuh Debu Dan Usang/ Ku Pandangi Semua Gambar Diri/ Kecil Bersih Belum Ternoda/. Dan penggalan lirik pada bait ketiga dan keempat //Pikirkupun Melayang/ Dahulu Penuh Kasih/ Teringat Semua/ Cerita Orang/ Tentang Riwayatku// //Kata Mereka Diriku Slalu Dimanja/ Kata Mereka Diriku Slalu Ditimang//.
Amanat dalam puisi yaitu pesan penyair kepada pembaca, pesan ini tidak jauh dengan amanatnya. Amanat dalam lagu Bunda itu sendiri yaitu sayangi ibumu selagi ia masih ada, meskipun sudah tiada, tetap sayangi ibu agar ia tidak sia-sia membesarkan kita dan bangga dengan kita. Seperti kutipan berikut // Oh Bunda Ada Dan Tiada Dirimu/ Kan Slalu Ada Di Dalam Hatiku …/ kutipan lirik tersebut mengajak pembaca tetap menyayangi ibu meskipun ia sudah tidak ada.
Berikutnya, penulis akan membahas unsur intrinsik yang kedua dalam puisi yaitu unsur fisik. Unsur yang pertama yaitu rima. Rima dalam puisi merupakan kesamaan nada atau bunyi yang biasa dijumpai pada akhir baris. Pada bait ketiga terdapat rima AA //Kata Mereka Diriku Slalu Dimanja/ Kata Mereka Diriku Slalu Ditimang/ yaitu kata dimanja dan ditimang mempunyai kesamaan bunyi. Sama halnya dengan bait terakhir yang menggunakan rima AA //Oh Bunda Ada Dan Tiada Dirimu/ Kan Slalu Ada Di Dalam Hatiku …/ penggunaan kata dirimu dan hatiku yang mempunyai kesamaan bunyi di akhir kalimat. Sedangkan bait yang lainnya tidak terpaku dengan rima yang telah ditentukan pada puisi lama, sehingga pada lagu ini menggunakan rima bebas. Seperti salah satu cuplikan lirik berikut //Nada Nada Yang Indah/ Slalu Terurai Darinya/ Tangisan Nakal Dari Bibirku/ Takkan Jadi Deritanya/ Tangan Halus Dan Suci/ Tlah Mengangkat Diri Ini/ Jiwa Raga Dan Seluruh Hidup/ Rela Dia Berikan/.
Sedangkan unsur fisik berikutnya yaitu gaya bahasa. Gaya bahasa yang digunakan dalam lagu Bunda milik Melly Goeslow lebih menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga pembaca tidak perlu membaca dua kali untuk memahami maksud yang disampaikan penyair.
Itulah yang bisa saya sampaikan pada kritik lagu yang berjudul Bunda milik Melly Goeslow. Kasih sayang seorang ibu tidak terhingga kepada anaknya, pengorbanan apa pun akan dia berikan. Jadi, sayangi ibumu selagi masih ada agar ia bisa merasakan kasih sayang langsung dari anaknya, tetapi apabila sudah tiada, tunjukkan kasih sayangmu dengan membanggakannya di surga. Itulah pesan tersembunyi yang disampaikan dalam lagu Bunda.

Kritik Lagu Ibu Karya Iwan Fals


Ibu
by: Iwan Fals
ribuan kilo jalan yang kau tempuh
lewati rintang untuk aku anakmu
ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah
seperti udara kasih yang engkau berikan
tak mampu ku membalas, ibu… ibu…
ingin ku dekat dan menangis di pangkuanmu
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
dengan apa membalas, ibu… ibu…
ribuan kilo jalan yang kau tempuh
lewati rintang untuk aku anakmu
ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah

Tema lirik lagu di atas adalah tema tentang perempuan, lebih tepatnya tentang cinta seorang ibu. Inti dari lagu itu sendiri yaitu pengorbanan dan kasih sayang yang diberikan seorang ibu kepada anaknya, tetapi sang anak tidak mampu membalas karena pengorbanan ibunya begitu besar.
Tone (sikap penyair terhadap pembaca) yang begitu tampak dalam lagu Ibu adalah introspeksi diri terhadap sikap kita kepada ibu kita, apakah kita bisa membalas semua jasanya. Jika bisa, balasan apa yang pantas diberikan untuk seorang ibu yang begitu besar pengorbanan dan kasih sayangnya untuk anak-anaknya.
Menurut Rani rima merupakan persamaan atau kesesuaian bunyi. Pada puisi lama, rima merupakan aturan yang harus dipatuhi. Lagu Ibu milik Iwan Fals ini masih menggunakan rima puisi lama yang bersajak ABAB. Seperti penggalan berikut.

ribuan kilo jalan yang kau tempuh
lewati rintang untuk aku anakmu
ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah

Pada bait di atas menggunakan rima atau sajak AABB. Sedangkan bait ketiga menggunakan sajak AAAA, seperti cuplikan berikut ini.

ingin ku dekat dan menangis di pangkuanmu
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
dengan apa membalas, ibu… ibu…

Lagu Ibu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals begitu mendayu-dayu, penggunaan bahasanya sangat sederhana, sehingga pembaca tidak perlu susah-susah untuk menangkap apa yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Seperti lirik berikut /seperti udara kasih yang engkau berikan/ lirik ini menggambarkan kasih sayang seorang ibu seperti udara, gratis dan tidak ada batasnya, sehingga sang anak tidak tahu bagaimana cara membalasnya seperti lanjutan kutipan lagu tersebut /tak mampu ku membalas, ibu… ibu…/.
Disamping penyair menggunakan bahasa yang sederhana, ada gaya bahasa hiperbola di lirik lagu Ibu yaitu pada bait pertama //ribuan kilo jalan yang kau tempuh/ lewati rintang untuk aku anakmu/ ibuku sayang masih terus berjalan/ /walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah/ kutipan bait ini menggambarkan bagaimana pengorbanan si ibu untuk anaknya dengan menampilkan gaya bahasa hiperbola (ribuan kilo jalan yang kau tempuh; walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah).
Demikianlah kritik lirik lagu Ibu yang dinyanyikan Iwan Fals. Penggunaan bahasa yang sederhana, membuat pembaca bisa mengetahui apa makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penyanyi. Namun, pemilihan bahasanya tetap diperhatikan sehingga terkesan begitu indah untuk dibaca.

Friday, 20 April 2018

Cerpen Bunga di Teras Rumah karya Nur Himami


Malam yang menampakkan langit hitam pekat, membuat manusia menyalakan lampu. Kota Surabaya yang dijuluki sebagai kota metropolitan ini begitu terang, tidak hanya lampu jalanan yang terpampang di pinggir jalan, pagar jembatan juga dihiasi lampu berwarna-warni, cahayanya memantul ke air sungai yang terlihat gelap. Surabaya tidak hanya terang oleh lampu jalan, lampu penghias, ataupun cahaya layar besar yang sedang menayangkan iklan. Tetapi juga sesak oleh orang yang berlalu lalang menggunakan mobil atau motor.
Aku melajukan motor pelan-pelan di antara ratusan pengendara yang lain. Ku lihat jarum pendek jam tanganku mengarah ke angka enam dan jarum panjangnya mengarah ke angka empat. Ini adalah jam-jam kritis, di mana jalanan disesaki orang yang tengah pulang dari mencari nafkah, termasuk aku. Sudah hampir satu setengah tahun menetap di Surabaya untuk mencari uang membantu menyekolahkan adik-adikku yang masih kecil. Meskipun aku perempuan dan berasal dari desa, tetapi aku ingin mempunyai kehidupan seperti orang kota. Tidak sedikit yang berusaha memusnahkan mimpiku lewat orang tuaku, seperti saat awal aku akan pergi ke kota metropolitan ini.
            “Halah, Yuk, anak perempuan aja kok disuruh kerja sampai segitu jauhnya,” kata Mak Katijah berapi-api.
            “Ya mau gimana lagi, dianya yang minta, tujuannya juga baik,” jawab ibuku yang sedang memungut singkong di karung.
            “Kawinkan saja sama pacarnya. Yang laki kan udah kerja, nanti bisa minta uang sama dia,” Mak Siti ikut berkomentar.
            “Iya, daripada ditinggal ke luar kota, entar ditinggal kawin sama yang laki, apa gak nangis ditinggal orang sebaik anaknya Pak RT,” Mak Rumina menimpali.
            “Meskipun yang laki udah kerja, tapi keluarganya juga bukan orang yang mampu-mampu amat. Toh, dia jadi tulang punggung keluarga setelah masnya nikah, dan anak saya bukan tipe orang yang suka meminta ke orang lain,” ujar ibuku sambil mengupas singkong.
            “Setidaknya dia gak terlalu susah kalo sudah kawin. Rasanya percuma kerja sampai ke luar kota tapi ujung-ujungnya ya ngurus dapur, ngurus suami sama anak, tambah menderita kalo gak punya waktu buat istirahat,” Mak Siti masih semangat mematahkan harapan ibuku.
Aku yang mendengar semua percakapan itu di ruang tamu hanya bisa diam dan berharap ibuku tidak terpengaruh dengan omongan mereka.
            “Woy! Jangan mundur! Belakang banyak kendaraan!”
Suara teriakan laki-laki membuyarkan lamunanku. Aku mencari asal suara tersebut dan mendapati sopir angkutan umum sedang melongokkan kepalanya keluar. Jarak mobilnya dan mobil di depannya begitu dekat, hampir bersentuhan. Tiba-tiba mobil Panther itu mundur menyentuh bumper angkutan umum, sehingga sang sopir kembali marah-marah dan menaikkan volume suaranya.
            “Dibilangin jangan mundur malah mundur! Bisa nyetir gak woy?!” ujarnya sambil memukul-mukul pintu mobilnya.
Sopir mobil Panther terlihat gugup, sambil membenarkan kacamatanya berusaha memajukan mobilnya, namun pengendara motor di depannya begitu banyak, tidak ada ruang baginya untuk menggerakkan mobilnya maju.
Pandangan seperti itu adalah hal yang biasa terjadi di kota ini, semua pengendara menjadi tidak sabar dan terburu-buru kalau sudah berada di jalan. Apalagi di jam padat seperti sekarang. Orang yang baru pulang kerja ingin cepat sampai di rumah, badan sudah pegal ditambah kemacetan yang tiada habisnya, membuat orang-orang mudah tersulut emosinya.
Lampu lalu lintas baru saja berganti berwarna hijau, namun klakson bersahutan seperti menyuruh pengendara lain segera melajukan kendaraannya.
            “Sangat berbeda dengan daerahku,” batinku.
Aku menghela nafas, pelan-pelan ku arahkan motorku menuju jalan pulang. Kendaraan masih padat dan nafasku semakin berat. Sebenarnya hari ini belum waktunya aku libur kerja, namun aku mengambil cuti agar bisa pulang ke rumah. Entah apa yang sedang kurasakan, jantungku berdebar seperti perasaan bahagia tetapi di sisi lain aku merasakan kesedihan. Semua rasa itu terasa samar-samar hingga tidak bisa dicerna.
Aku membelokkan motorku ke pom bensin. Membuka jok motor sambil meregangkan badanku yang terasa kaku. Dari pagi jam delapan sampai setengah enam sore aku banting tulang, setelah itu mengemasi barang yang kubutuhkan untuk pulang ke rumah.
Setelah mengisi motor dengan bensin, aku lanjutkan perjalanan pulangku. Terdengar suara adzan isya bersahutan, seolah-olah muadzin berlomba memanggil orang yang mendengarnya untuk segera datang menunaikan kewajiban. Sepuluh menit kemudian, aku sampai di perbatasan kota Surabaya dan Gresik. Ku lihat tanda Surabaya dicoret, artinya aku telah meninggalkan kota Surabaya. Jalannya sedikit melebar, namun kendaraan yang kutemui bukan hanya mobil dan motor, truck besar juga ikut memakai jalan yang lebarnya kurang dari lima belas meter. Beruntung kali ini tidak begitu banyak truck yang lewat, aku bisa menambah kecepatan laju motor menjadi 50 km per jam.
Angin terasa menyentuh kulit tanganku. Dinginnya menembus badan yang telah kubungkus dengan jaket tebal. Tidak terasa aku mulai memasuki jalan aspal yang tidak begitu mulus, banyak aspal di sana-sini yang tergerus genangan air hujan, sehingga menciptakan lubang. Aku mulai waspada menghindari lubang yang hampir seukuran baskom. Setelah itu aku belok kanan, melewati jalan paving, kiri kanan yang dulunya hamparan sawah sekarang berubah menjadi bangunan pabrik. Kendaraan yang melewati jalan ini bisa dihitung jari, minimnya lampu penerangan akan menambah suasana mencekam saat hujan turun.
Sampai di perempatan, jalannya berganti aspal tipis, lebarnya tak kurang dari tiga meter. Pemukiman yang berjejer di sini lumayan ramai. Di sebelah kanan jalan ada warung nasi goreng dan aneka penyetan, sampingnya ada warkop yang disesaki pengunjung, warung itu tidak hanya digunakan untuk menikmati kopi, tapi juga tempat bermain kartu dan catur oleh pria dewasa.
Kecepatan laju motorku hanya 20 km per jam. Depanku juga melaju dump truck yang bermuatan pasir, pengemudinya sangat hati-hati membawa truck yang bergoyang-goyang menelusuri jalanan tidak rata. Sampai di pertigaan, aku belok kanan, jalannya mulai menyempit. Dari arah yang sama ku lihat seorang pemuda yang sedang jalan kaki, dari posturnya aku sudah kenal betul siapa dia. Rasa sejuk di dada membuatku tersenyum menyapanya saat melewatinya. Tapi ia hanya diam, kaku.
            “Mungkinkah dia sudah lupa?”
Aku menjadi sedikit bingung. Tanpa aba-aba aku menoleh ke arah rumahnya. Aku mengerutkan kening saat menangkap pandangan yang menambah rasa gelisahku.
Sampai di ujung jalan, aku berhenti di halaman rumahku yang sederhana dan berlantaikan tanah, catnya juga telah memudar. Bayangan suara ibuku sebulan yang lalu saat menelponku terngiang kembali.
            “Kamu kapan pulang, Nduk? Ndak dapat kabar apa-apa kan? Jangan terlalu dipikirkan, sehat-sehat di sana.”
Kakiku terpaku tidak bisa melangkah ke dalam rumah. Mungkin perasaan yang tak bisa ku terka bukan karena merindukan keluarga. Tapi merindukan seseorang yang telah lama tinggal di hatiku.
Aku berbalik dan mendapati pemuda yang tadi kutemui di jalan sedang berbelok ke rumahnya. Buru-buru aku menghampirinya.
            “Mas....”
Pemuda itu urung membuka pintu dan berbalik menghadapku. Aku tersenyum dan mendekatinya.
            “Apa kabar?”
            “Bagaimana perjalananmu?”
Tanyaku dan tanyanya bersamaan.
            “Panjang dan melelahkan,” jawabku sambil membuang nafas.
Lima detik aku menunggu ia menjawab pertanyaanku, rupanya ia tidak ingin menjawabnya.
            “Bunga yang dulu di situ ke mana?” tanyaku menunjuk teras rumahnya dengan pandanganku.
            “Sudah aku pindah ke tempat lain.”
            “Kenapa? Bukannya itu bunga kesukaanmu?”
            “Bosan, bunganya tidak bisa menghasilkan warna yang lain.”
Aku menghirup udara dalam-dalam dan sedikit mendongakkan kepala. Langit yang tadinya hitam pekat, kini berubah menjadi agak jingga.
            “Seleramu berubah-ubah, Mas,” kataku menahan nafas.
            “Bukan salahku, bunganya terlalu monoton.”
Udara yang dingin tadi berganti sedikit panas. Tubuhku berkeringat di dalam jaket yang ku kenakan.
            “Lalu, kenapa tidak bilang?” suaraku sedikit melemah.
Pemuda berkulit sawo matang itu hanya memandangku, matanya seolah-olah menjelaskan sesuatu yang tidak bisa ku mengerti.
Suasana menjadi hening, telingaku hanya menangkap suara daun yang diterpa angin. Mataku sedikit panas, cepat-cepat aku menundukkan kepala dan memikirkan sesuatu.
            “Sudah malam,” suara pemuda itu lirih.
Aku mengerti maksudnya dan segera kubuka tas ranselku, mengambil dompet. Ku lihat ada empat lembar uang lima puluhan dan kusodorkan padanya. Dahinya berkerut.
            “Jaga bunga yang kamu sukai, belilah pupuk agar dia tetap hidup.”
Pemuda itu diam tidak bergerak. Aku mendekat dan kugenggamkan uang ke tangannya. Uang itu tadinya oleh-oleh untuk orang tua dan adik-adikku, tapi aku telah mengesampingkan mereka.
            “Maaf....” suaraku tercekat.
Aku membalikkan badan meninggalkannya yang masih berdiri mematung. Setetes air dari langit jatuh mengenai tanganku. Langkah kakiku terasa berat. Dalam hati aku bersumpah tidak akan menoleh ke belakang, namun di sisi lain aku ingin kembali dan mengiba padanya. Menahan semua perasaan itu membuat pandanganku sedikit kabur dan panas. Saat itulah air yang jatuh semakin deras dan mendinginkan tubuhku.
*

Thursday, 19 April 2018

Kritik Cerpen Sorot Mata Syaila karya M. Shoim Anwar


Sorot Mata Syaila
DI Bandara Internasional Abu Dhabi, pukul satu dini hari, detak jantungku makin kencang. Pipi perempuan itu perlahan-lahan menyentuh pundakku. Terasa makin dekat dan hangat. Mulanya dia masih berusaha menegakkan kepalanya kembali beberapa kali, tapi makin lama kesadarannya makin menipis. Pipi itu akhirnya benar-benar menempel dengan pasti. Sebuah penyerahan yang lembut. Ujung hijabnya menyentuh hidungku. Terasa ada aroma parfum Alfa Zahrah. Gaun panjang terusan warna hitam yang dikenakan, abaya, ikut meluruh ke tubuh kiriku.
Aku tak berani bergerak. Ada baiknya berdiam agar dia tak terbangun dengan tiba-tiba. Ini pasti di luar kesadarannya. Malam telah melarut dan payah pun membalut. Hembus napasnya terdengar makin teratur. Tangan perempuan itu menyilang di pangkuannya. Lengan bajunya mengingsut naik. Bulu-bulu panjang tampak tumbuh merebah di lengan. Kulitnya bersih dan cerah membuat bulu-bulu itu tampak dari pangkal tumbuhnya hingga ujung. Sementara kuku-kukunya dipotong agak meruncing, warnanya merah muda seperti buah kurma menua di pohonnya.
Di negeri Uni Emirat Arab ini aku mesti berganti pesawat. Enam jam para penumpang harus menanti. Penerbangan masih harus kutempuh sekitar sembilan jam lagi dengan maskapai Etihad Airways nomor penerbangan EY 474. Jarak masih membentang sekitar 5.594 km lagi. Para penumpang, baik yang transit maupun baru, memenuhi lantai dua. Mereka menanti jadwal masing-masing. Kursi-kursi telah penuh. Sebagian penumpang, sepertinya para pembantu rumah tangga, duduk di lantai. Perempuan yang bersandar di pundakku makin nyaman dalam tidurnya. Beberapa orang sepertinya tersenyum ketika melihat pemandangan itu.
Aku duduk di deretan kursi menghadap ke Sky Bar dan gate 7-8. Lorong menuju ke toilet ada di depan sana. Perempuan itu mulanya mondar-mandir mencari tempat duduk sambil menyeret koper kecil warna cokelat. Sudah beberapa kali dia lewat sambil melihat tempat duduk di dekatku. Kebetulan kursi di sebelah kiriku agak longgar. Aku merasa harus berbagi. Akhirnya aku mengingsut dan mempersilakannya duduk.
Awalnya aku merasa ragu. Maklum di belahan dunia Arab antara laki-laki dan perempuan umumnya dipisahkan dengan ketat. Tapi ini di Abu Dhabi, bukan Kota Suci Makkah atau Madinah yang memerlukan waktu sekitar dua jam dengan pesawat ke sana. Meski awalnya aku tak yakin, perempuan itu akhirnya duduk di sebelahku. Aku membantu menata koper di depannya.
“Syukran,” dia mengucapkan terima kasih.
Beberapa saat aku mencoba menyesuaikan. Laki-laki tua berjenggot panjang di sebelah kirinya juga mengingsutkan duduknya. Sementara lelaki berkulit gelap di sebelah kananku tetap menyandarkan kepalanya di kursi, mendongak dengan mata tertutup dan mulutnya membuka seperti buaya memasang perangkap agar ada mangsa yang masuk. Orang-orang yang duduk ber deret di kursi depan sudah tidak lagi memperhatikan. Kaki mereka kembali berselonjor. Beberapa saat situasi pun tenang kembali.
“Ismii Matalir,” aku memperkenalkan na ma ku. Bukan nama resmi, tapi nama panggilan waktu kecil.
Perempuan itu memandangku. Mungkin dia merasa aneh mendengarnya.
“Maasmuka? Mat…alir?”
Aku mengangguk.
“Ana min Indonesia,” aku melanjutkan. Dia tersenyum dan manggut-manggut. Beberapa saat aku masih memandang ke arahnya. Perempuan muda itu berhidung mancung dan beralis tebal. Kulit mukanya cerah dengan bibir mengilat semu merah. Bulu-bulu lembut di atas bibirnya menguat meski tampak samar.
“Ilaa ayn tadzhab?” aku bertanya ke mana dia pergi.
“Pakistan.”
Kami saling tersenyum. Koper di depannya aku rapikan lagi agar tidak menghalangi orang lewat. Kami berbasa-basi beberapa saat. Dia lalu melihat-lihat telepon selulernya, kemudian menoleh ke arahku kembali.
“Wa anti maasmuki?” aku tanya namanya, meski sadar itu terlalu bernafsu. Dia tak segera menjawab. Aku tetap memandangnya.
“Syaila,” jawabnya kemudian. Nama itu terdengar indah di telingaku. Artinya adalah kobaran api.
Perempuan dari segala penjuru dunia memang boleh datang ke Abu Dhabi. Mereka tidak sedikit yang memakai celana pendek dan kaus oblong. Agak kontras dengan mereka yang memakai cadar. Perempuan muda berhijab dengan wajah terbuka juga lazim dijumpai. Para pramugari milik negeri ini malah memakai span ketat di atas lutut dan baret dengan rambut terbuka. Meski tidak bercadar, pakaian Syaila bagiku sudah nyaris sempurna menutup tubuhnya.
Syaila menanyakan nama maskapai dan kota tujuanku. Dia tahu kalau pesawatku akan take off lebih dulu dibanding dia. Lama-lama pembicaraan kami mulai jarang. Bukan bahan omongan yang mulai habis, tapi bahasa Arabku yang kedodoran sehingga tak bisa mengungkapkan apa yang akan kukatakan. Rasa kantuk mulai menyerang. Detik-detik inilah aku mengetahui Syaila juga mulai di se rang kantuk.
Sekarang aku berpikir persoalanku sendiri. Aku berharap penerbanganku terlambat, bila perlu ditunda dalam waktu yang panjang. Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambil mencari terobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik.
Perkara ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak, juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut.
Ketika beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian, aku dapat bocoran bahwa statusku yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi tersangka. Ada yang mengatur agar statusku tidak bocor ke publik. Pada saat itulah aku dengan cepat melarikan diri keluar negeri. Tentu saja dengan beberapa skenario yang sudah kupersiapkan sejak kasusku mulai diungkap. Semua keluarga sudah diskenario agar satu suara, bila perlu bungkam.
Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.
Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
Pengacara yang kusewa dengan harga mahal pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar sesuai permintaanku, termasuk mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah kutaburi remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan biskuit dia bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang sangat setia melindungi tuannya.
Kembali aku melihat-lihat ke sekitar. Arsitektur bandara ini membuatku serasa bernaung di bawah pohon kurma raksasa. Pilar tunggal yang besar berada di tengah dari lantai satu hingga lantai dua. Ujung pilar itu mekar menyerupai daun-daun kurma dan sekaligus membentuk langit-langit secara melingkar dengan motif ornamen segi enam. Stan-stan penjual makanan ringan, minuman, dan sovenir juga ditata melingkar. Di bawah pilar dipajang dagangan sebangsa parfum, alat kecantikan, jam tangan, serta perhiasan dengan harga mahal.
Malam telah bergeser ke dini hari. Orang-orang seperti membeku di kursinya. Kepala Syaila bergerak-gerak. Sepertinya perempuan itu mulai terbangun. Terdengar desah napasnya disertai lenguh yang lembut. Perlahan dia mengangkat kepala dari pundakku. Dia berkedip-kedip melihatku agak lama. Seperti meyakinkan sesuatu yang telah lama hilang. Ekspresinya datar. Aku pun menatapnya. Tanpa bicara apa-apa.
Tangan kanan Syaila perlahan merambat ke pegangan koper. Sambil tetap melihatku, dia bangkit. Matanya berkedip-kedip. Koper itu didorongnya ke depan, lalu melangkah. Beberapa detik setelah itu dia berhenti. Pandangannya masih diarahkan kepadaku. Syaila mengangguk. Mungkin sebagai isyarat pamit. Aku pun mengangguk. Posisi kopernya berganti di belakang. Perempuan itu melangkah lagi. Ada rasa kehilangan melepas kepergiannya.
Baru beberapa langkah berjalan, Syaila kembali membalikkan pandangan. Dia mengangguk. Aku membalas. Tapi dia tak segera beranjak. Seperti ada isyarat lain untukku. Aku pun berdiri. Syaila melangkah lagi. Ada kegamangan dalam diriku. Kali ini aku mulai menangkap maksudnya saat perempuan itu kembali menoleh dan mengangguk dua kali. Aku berjalan ke arahnya. Syaila melanjutkan langkah ketika mengetahui aku mengikuti. Terasa ada dorongan yang makin kuat. Aku meniti di belakang langkahnya.
Syaila menuruni tangga ke lantai satu. Aku membuntut. Dia berbelok ke kiri, menuju ke lorong yang makin sepi karena stan-stan di kanan kiri semuanya tutup. Suasana bertambah senyap. Sesekali perempuan itu menoleh ke arahku dan mengangguk. Sebuah isyarat agar aku terus mengikuti. Lampu-lampu makin meredup. Bunyi sepatu perempuan itu makin jelas. Detaknya memantul ke dinding-dinding lorong yang makin panjang. Abaya hitam yang dikenakan membuatnya makin samar dalam keremangan.
Sampai di pertigaan Syaila berhenti sejenak. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Ketika jarak antara kami tinggal dua tiga langkah, perempuan itu berbelok ke kanan dan mempercepat langkahnya. Aku seperti tersedot mengikuti arusnya. Ternyata ini bukan lantai terakhir. Di ujung lorong ada tangga ke bawah. Dengan langkah makin cepat Syaila meluncur turun. Udara terasa makin pengap dan bau apak mengambang. Lantai tak lagi rata. Di sana-sini ada bekas genangan air. Kesenyapan hampir sempurna membalut. Detak sepatu itu terdengar makin cepat.
“Syaila…,” aku memanggil. Dia menoleh sejenak dan mengangguk. Langkahku makin cepat karena harus mengikutinya. Suasana makin meredup, tinggal satu dua lampu yang tersisa di kejauhan sana. Ada kelepak melintas di depanku. Tubuh Syaila makin samar dibalut remang. Seperti ada kekuatan yang menyedot langkahku untuk terus mengalir. Pantulan detak sepatu Syaila makin menggema dari sudut ke sudut. Lorong ini terasa makin sempit dan berkelok-kelok menyerupai labirin.
“Syaila…,” aku menyeru. Tubuh perempuan itu makin menghablur. Yang kudengar kembali adalah gema suaraku yang memantul-mantul makin keras. Lorong semakin berliku-liku. Syaila tampak seperti bayangan melayang-layang dalam remang. Tiba-tiba ada kabut dingin yang datang. Kembali kuseru nama Syaila. Dalam keremangan samar-samar tampak dia menoleh dan berhenti. Aku melihat bola mata perempuan itu merona dalam kegelapan, berpendar mengeluarkan cahaya kebiruan. Seperti sepasang mata kucing hitam saat di sorot cahaya di kegelapan.
Kembali aku menyeru. Tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Sorot sepasang mata Syaila makin kuat menembus kabut. Seperti juga seekor kucing hitam, sosok itu melayang dan menyambarku. Aku terjatuh. Tengkurap di lantai lorong yang basah. Ada bunyi kelepak yang datang menyerbu. Makin riuh di telingaku. Aku membeku.
Beberapa saat kemudian lamat-lamat ganti terdengar suara merintih-rintih memanggilku. Aku berusaha merayap mendekat. Kata-kata “papa” yang disuarakan makin jelas. Sepertinya ada beberapa suara yang memanggilku. Semuanya merintih dengan nada kesakitan.
Lorong ini bukan saja basah, tapi semakin becek dan pesing. Ada tetesan air dari pipa di langit-langit. Aku merayap terengah-engah. Tampak seberkas cahaya di sana. Sampai di tikungan lorong aku mendongak. Cahaya menyorot ke sana. Ah, aku terkejut! Aku melihat istri pertama beserta kedua anakku digantung. Leher mereka dijerat, kaki dan tangannya diserimpung seperti kepompong. Di sebelah mereka aku juga melihat hal yang sama. Istri keduaku beserta dua anaknya juga mengalami hal serupa. Dua orang istri dan empat orang anakku bergelantungan tak berdaya. Seperti menunggu ajal yang segera tiba, mereka merintih-rintih kesakitan.
Aku berusaha meyakinkan diri. Ini bukan mimpi atau sekadar ilusi. Di lorong terdalam Bandara Internasional Abu Dhabi, aku tak berdaya menolong istri-istri dan anak-anakku yang sekarat menghadapi maut. Mereka digantung seperti kambing habis disembelih untuk dikuliti. Barangkali ini adalah ujung dari hidup kami semua. Aku ingin meronta, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kaki dan tanganku pun terserimpung di lantai lorong yang becek dan pesing.
Lalu di manakah Syaila? Perempuan itu telah melenyap bersama gelap. Sosoknya menghilang tanpa bayang. Sebagai kucing hitam, dia membenam dalam kelam. Aku tersuruk di sini. Menatap kedua istri dan empat anakku yang hampir beku. Seluruh tubuhku juga kaku dan beku. Kelepak itu pun datang kembali bertubi-tubi, terbang mengitari tubuhku untuk dimangsa inci demi inci. ***

Abu Dhabi-Surabaya, 1 Januari 2018
Cerpen ini mempunyai kata-kata yang indah, saat membaca cerpen ini seperti membaca puisi sekaligus. Seperti cuplikan berikut. / Kelepak itu pun datang kembali bertubi-tubi, terbang mengitari tubuhku untuk dimangsa inci demi inci./
Cerpen ini mendeskripssikan setting begitu gamblang, sehingga pembaca seolah-olah berada di tempat maupun waktu yang diceritakan. Namun, cerpen ini tidak cocok dibaca sekali, karena memerlukan pemikiran untuk menangkap tokoh Syaila dan menafsirkan inti dari cerpen ini.
Jika sudah membaca puisi M. Shoim Anwar yang berjudul Di Bandara Internasional Abu Dhabi, cerpen ini memiliki kemiripan dengan puisi tersebut. Pengarang membuat karya dengan versi yang berbeda yaitu puisi dan cerpen, namun di cerpen lebih dijelaskan akhir dari nasib si tokoh. Inti dari cerpen yang berjudul Syorot Mata Syaila ini menceritakan mengenai koruptor yang sedang diburu yang bernama Matalir, ia melarikan diri ke negara Arab dengan alasan sedang menunaikan ibadah. Saat sedang di bandara Matalir bertemu dengan perempuan bernama Syaila, dari pertemuan itu ia tertarik dengan sosok Syaila dan mengikutinya saat Syaila pergi ke lorong yang tidak terjamah pengunjung. Di sana Syaila berubah menjadi sosok yang misterius dan membuat Matalir kesakitan dan teringat akan keluarganya yang ia tinggalkan di tanah air. Jika melihat akhir cerita, pengarang menunjukkan nasib dari Matalir, keluarganya ikut terkena getah atas yang ia lakukan yaitu korupsi uang negara. Sosok Syaila sendiri menurut pandangan saya adalah malaikat. Tokoh Matalir yang melarikan diri dari permasalahan dengan alasan menunaikan ibadah di tanah suci, seketika itu ia dihukum di sana atas perbuatannya.

Goyah

Aku benar-benar kecewa atas diriku sendiri, aku ingin mencaci diriku yang tidak bisa membedakan mana tulus dan mana modus. Apalagi selama in...