Friday, 20 April 2018

Cerpen Bunga di Teras Rumah karya Nur Himami


Malam yang menampakkan langit hitam pekat, membuat manusia menyalakan lampu. Kota Surabaya yang dijuluki sebagai kota metropolitan ini begitu terang, tidak hanya lampu jalanan yang terpampang di pinggir jalan, pagar jembatan juga dihiasi lampu berwarna-warni, cahayanya memantul ke air sungai yang terlihat gelap. Surabaya tidak hanya terang oleh lampu jalan, lampu penghias, ataupun cahaya layar besar yang sedang menayangkan iklan. Tetapi juga sesak oleh orang yang berlalu lalang menggunakan mobil atau motor.
Aku melajukan motor pelan-pelan di antara ratusan pengendara yang lain. Ku lihat jarum pendek jam tanganku mengarah ke angka enam dan jarum panjangnya mengarah ke angka empat. Ini adalah jam-jam kritis, di mana jalanan disesaki orang yang tengah pulang dari mencari nafkah, termasuk aku. Sudah hampir satu setengah tahun menetap di Surabaya untuk mencari uang membantu menyekolahkan adik-adikku yang masih kecil. Meskipun aku perempuan dan berasal dari desa, tetapi aku ingin mempunyai kehidupan seperti orang kota. Tidak sedikit yang berusaha memusnahkan mimpiku lewat orang tuaku, seperti saat awal aku akan pergi ke kota metropolitan ini.
            “Halah, Yuk, anak perempuan aja kok disuruh kerja sampai segitu jauhnya,” kata Mak Katijah berapi-api.
            “Ya mau gimana lagi, dianya yang minta, tujuannya juga baik,” jawab ibuku yang sedang memungut singkong di karung.
            “Kawinkan saja sama pacarnya. Yang laki kan udah kerja, nanti bisa minta uang sama dia,” Mak Siti ikut berkomentar.
            “Iya, daripada ditinggal ke luar kota, entar ditinggal kawin sama yang laki, apa gak nangis ditinggal orang sebaik anaknya Pak RT,” Mak Rumina menimpali.
            “Meskipun yang laki udah kerja, tapi keluarganya juga bukan orang yang mampu-mampu amat. Toh, dia jadi tulang punggung keluarga setelah masnya nikah, dan anak saya bukan tipe orang yang suka meminta ke orang lain,” ujar ibuku sambil mengupas singkong.
            “Setidaknya dia gak terlalu susah kalo sudah kawin. Rasanya percuma kerja sampai ke luar kota tapi ujung-ujungnya ya ngurus dapur, ngurus suami sama anak, tambah menderita kalo gak punya waktu buat istirahat,” Mak Siti masih semangat mematahkan harapan ibuku.
Aku yang mendengar semua percakapan itu di ruang tamu hanya bisa diam dan berharap ibuku tidak terpengaruh dengan omongan mereka.
            “Woy! Jangan mundur! Belakang banyak kendaraan!”
Suara teriakan laki-laki membuyarkan lamunanku. Aku mencari asal suara tersebut dan mendapati sopir angkutan umum sedang melongokkan kepalanya keluar. Jarak mobilnya dan mobil di depannya begitu dekat, hampir bersentuhan. Tiba-tiba mobil Panther itu mundur menyentuh bumper angkutan umum, sehingga sang sopir kembali marah-marah dan menaikkan volume suaranya.
            “Dibilangin jangan mundur malah mundur! Bisa nyetir gak woy?!” ujarnya sambil memukul-mukul pintu mobilnya.
Sopir mobil Panther terlihat gugup, sambil membenarkan kacamatanya berusaha memajukan mobilnya, namun pengendara motor di depannya begitu banyak, tidak ada ruang baginya untuk menggerakkan mobilnya maju.
Pandangan seperti itu adalah hal yang biasa terjadi di kota ini, semua pengendara menjadi tidak sabar dan terburu-buru kalau sudah berada di jalan. Apalagi di jam padat seperti sekarang. Orang yang baru pulang kerja ingin cepat sampai di rumah, badan sudah pegal ditambah kemacetan yang tiada habisnya, membuat orang-orang mudah tersulut emosinya.
Lampu lalu lintas baru saja berganti berwarna hijau, namun klakson bersahutan seperti menyuruh pengendara lain segera melajukan kendaraannya.
            “Sangat berbeda dengan daerahku,” batinku.
Aku menghela nafas, pelan-pelan ku arahkan motorku menuju jalan pulang. Kendaraan masih padat dan nafasku semakin berat. Sebenarnya hari ini belum waktunya aku libur kerja, namun aku mengambil cuti agar bisa pulang ke rumah. Entah apa yang sedang kurasakan, jantungku berdebar seperti perasaan bahagia tetapi di sisi lain aku merasakan kesedihan. Semua rasa itu terasa samar-samar hingga tidak bisa dicerna.
Aku membelokkan motorku ke pom bensin. Membuka jok motor sambil meregangkan badanku yang terasa kaku. Dari pagi jam delapan sampai setengah enam sore aku banting tulang, setelah itu mengemasi barang yang kubutuhkan untuk pulang ke rumah.
Setelah mengisi motor dengan bensin, aku lanjutkan perjalanan pulangku. Terdengar suara adzan isya bersahutan, seolah-olah muadzin berlomba memanggil orang yang mendengarnya untuk segera datang menunaikan kewajiban. Sepuluh menit kemudian, aku sampai di perbatasan kota Surabaya dan Gresik. Ku lihat tanda Surabaya dicoret, artinya aku telah meninggalkan kota Surabaya. Jalannya sedikit melebar, namun kendaraan yang kutemui bukan hanya mobil dan motor, truck besar juga ikut memakai jalan yang lebarnya kurang dari lima belas meter. Beruntung kali ini tidak begitu banyak truck yang lewat, aku bisa menambah kecepatan laju motor menjadi 50 km per jam.
Angin terasa menyentuh kulit tanganku. Dinginnya menembus badan yang telah kubungkus dengan jaket tebal. Tidak terasa aku mulai memasuki jalan aspal yang tidak begitu mulus, banyak aspal di sana-sini yang tergerus genangan air hujan, sehingga menciptakan lubang. Aku mulai waspada menghindari lubang yang hampir seukuran baskom. Setelah itu aku belok kanan, melewati jalan paving, kiri kanan yang dulunya hamparan sawah sekarang berubah menjadi bangunan pabrik. Kendaraan yang melewati jalan ini bisa dihitung jari, minimnya lampu penerangan akan menambah suasana mencekam saat hujan turun.
Sampai di perempatan, jalannya berganti aspal tipis, lebarnya tak kurang dari tiga meter. Pemukiman yang berjejer di sini lumayan ramai. Di sebelah kanan jalan ada warung nasi goreng dan aneka penyetan, sampingnya ada warkop yang disesaki pengunjung, warung itu tidak hanya digunakan untuk menikmati kopi, tapi juga tempat bermain kartu dan catur oleh pria dewasa.
Kecepatan laju motorku hanya 20 km per jam. Depanku juga melaju dump truck yang bermuatan pasir, pengemudinya sangat hati-hati membawa truck yang bergoyang-goyang menelusuri jalanan tidak rata. Sampai di pertigaan, aku belok kanan, jalannya mulai menyempit. Dari arah yang sama ku lihat seorang pemuda yang sedang jalan kaki, dari posturnya aku sudah kenal betul siapa dia. Rasa sejuk di dada membuatku tersenyum menyapanya saat melewatinya. Tapi ia hanya diam, kaku.
            “Mungkinkah dia sudah lupa?”
Aku menjadi sedikit bingung. Tanpa aba-aba aku menoleh ke arah rumahnya. Aku mengerutkan kening saat menangkap pandangan yang menambah rasa gelisahku.
Sampai di ujung jalan, aku berhenti di halaman rumahku yang sederhana dan berlantaikan tanah, catnya juga telah memudar. Bayangan suara ibuku sebulan yang lalu saat menelponku terngiang kembali.
            “Kamu kapan pulang, Nduk? Ndak dapat kabar apa-apa kan? Jangan terlalu dipikirkan, sehat-sehat di sana.”
Kakiku terpaku tidak bisa melangkah ke dalam rumah. Mungkin perasaan yang tak bisa ku terka bukan karena merindukan keluarga. Tapi merindukan seseorang yang telah lama tinggal di hatiku.
Aku berbalik dan mendapati pemuda yang tadi kutemui di jalan sedang berbelok ke rumahnya. Buru-buru aku menghampirinya.
            “Mas....”
Pemuda itu urung membuka pintu dan berbalik menghadapku. Aku tersenyum dan mendekatinya.
            “Apa kabar?”
            “Bagaimana perjalananmu?”
Tanyaku dan tanyanya bersamaan.
            “Panjang dan melelahkan,” jawabku sambil membuang nafas.
Lima detik aku menunggu ia menjawab pertanyaanku, rupanya ia tidak ingin menjawabnya.
            “Bunga yang dulu di situ ke mana?” tanyaku menunjuk teras rumahnya dengan pandanganku.
            “Sudah aku pindah ke tempat lain.”
            “Kenapa? Bukannya itu bunga kesukaanmu?”
            “Bosan, bunganya tidak bisa menghasilkan warna yang lain.”
Aku menghirup udara dalam-dalam dan sedikit mendongakkan kepala. Langit yang tadinya hitam pekat, kini berubah menjadi agak jingga.
            “Seleramu berubah-ubah, Mas,” kataku menahan nafas.
            “Bukan salahku, bunganya terlalu monoton.”
Udara yang dingin tadi berganti sedikit panas. Tubuhku berkeringat di dalam jaket yang ku kenakan.
            “Lalu, kenapa tidak bilang?” suaraku sedikit melemah.
Pemuda berkulit sawo matang itu hanya memandangku, matanya seolah-olah menjelaskan sesuatu yang tidak bisa ku mengerti.
Suasana menjadi hening, telingaku hanya menangkap suara daun yang diterpa angin. Mataku sedikit panas, cepat-cepat aku menundukkan kepala dan memikirkan sesuatu.
            “Sudah malam,” suara pemuda itu lirih.
Aku mengerti maksudnya dan segera kubuka tas ranselku, mengambil dompet. Ku lihat ada empat lembar uang lima puluhan dan kusodorkan padanya. Dahinya berkerut.
            “Jaga bunga yang kamu sukai, belilah pupuk agar dia tetap hidup.”
Pemuda itu diam tidak bergerak. Aku mendekat dan kugenggamkan uang ke tangannya. Uang itu tadinya oleh-oleh untuk orang tua dan adik-adikku, tapi aku telah mengesampingkan mereka.
            “Maaf....” suaraku tercekat.
Aku membalikkan badan meninggalkannya yang masih berdiri mematung. Setetes air dari langit jatuh mengenai tanganku. Langkah kakiku terasa berat. Dalam hati aku bersumpah tidak akan menoleh ke belakang, namun di sisi lain aku ingin kembali dan mengiba padanya. Menahan semua perasaan itu membuat pandanganku sedikit kabur dan panas. Saat itulah air yang jatuh semakin deras dan mendinginkan tubuhku.
*

No comments:

Post a Comment

Goyah

Aku benar-benar kecewa atas diriku sendiri, aku ingin mencaci diriku yang tidak bisa membedakan mana tulus dan mana modus. Apalagi selama in...